Meraih Kebahagiaan Paripurna (Bagian 1)

Kebahagiaan adalah tujuan yang tidak pernah berhenti dikejar oleh manusia dalam kehidupan. Namun kebanyakan manusia hanya dapat mencicipi kebahagiaan singkat dan sebentar, kemudian bahagia itu cepat menghilang. Ini dikarenakan bahagia dalam pandangan kebanyakan manusia adalah kebahagiaan materi yang bersifat temporer, bukan kebahagiaan sejati yang tak lekang oleh waktu. Sebenarnya kebahagiaan manusia tidak jauh dari dirinya sendiri, seperti yang diungkapkan oleh Hujjatul Islam Abu Hamid Al Ghazali.

Saat manusia dilahirkan ke dunia, ia telah memulai proses hidup sekaligus menjauhi Sang Maha Pemberi Hidup, karena dengan ia dilahirkan, ia keluar dari alam arwah menuju alam materi. Pengalaman ini cukup traumatis dan menyakitkan, karena ia telah kehilangan kemampuan merasakan kebahagiaan agung dengan lebih dekat kepada Sang Maha Indah saat di alam arwah.

Manusia kemudian mencari obat yang dapat meringankan rasa sakit dalam batinnya itu. Mencoba mengganti serpihan puzzle yang hilang dalam batinnya dengan kebahagiaan-kebahagiaan materiil. Namun hal itu tidak pernah membuatnya puas, karena pada dasarnya kekosongan itu bersifat spiritual.

Bisa kita saksikan, seorang yang masih bersekolah menginginkan kelulusan dengan nilai baik. Setelah euforia kelulusan berakhir, kebahagiaan itu kembali ia gantungkan dengan keberhasilan masuk universitas unggulan. Setelah ia menyelesaikan program sarjana, bekerja, menikah, memiliki rumah, dan kaya raya adalah kebahagiaan lain yang ia angankan.

Dan seterusnya, sepanjang hidupnya hanya mengejar kebahagiaan-kebahagiaan semu yang sementara. Kebahagiaan yang terasa hanya sekejap setelah hasrat hayawani atau nafsu pribadinya terpenuhi, lalu menghilang dan terkadang begitu saja terlupakan atau yang lebih parah, diikuti penderitaan, duka berkepanjangan yang tidak setimpal dengan setitik kebahagiaan yang didapat.

Sebenarnya sejarah telah mencatat manusia terbahagia dan mencapai puncak kebahagiaan absolut, manusia tersebut adalah para Nabi. Manusia yang hingga akhir hayatnya selalu merasakan ekstasi penyatuan dengan Al Haqiqat al Udzma (Realitas Tertinggi) pemilik puncak kebahagiaan (supreme happiness).

Tidak seperti manusia kebanyakan yang pandangan matanya terganggu oleh hingar bingar hijaunya dunia yang semu. Perlahan tetapi pasti diri mereka diperbudak oleh materi, mengejarnya siang-malam namun tidak pernah puas dengan apa yang mereka kejar, karena sejatinya yang mereka kejar seperti sebatang besi usang yang dikesankan emas oleh hasrat manusia itu sendiri.

Pandangan para Nabi tidak terganggu seperti manusia kebanyakan, batinnya bersih seumpama cermin yang dipoles dan dibersihkan dari debu dan kerak sehingga kejernihannya dapat merefleksikan cahaya Ilahi yang menentramkan. Dari sinilah mereka lebih mengenal pemilik kebahagiaan paripurna.

Mengenali Tuhan tidak bisa serta merta dengan memikirkan tentang Tuhan, seperti disabdakan Manusia Sempurna SAW:

تفكروا في خلق الله ولا تفكروا في الله

“berpikirlah tentang ciptaan Allah, janganlah kalian berpikir tentang Allah,”

Hadits di atas perlu dipahami bukan sebagai larangan mengenal Allah, tetapi merupakan sebuah petunjuk kepada jalan yang lebih efektif untuk mengenal Allah, yakni mengenal secara sempurna kepada diri sendiri. Pemahaman ini senada dengan sabda Nabi SAW yang lain:

من عرف نفسه فقد عرف ربه

“Barang siapa mengenal dirinya maka ia akan benar-benar mengenal Tuhannya.”

Dan Al Quran telah menyinggung tentang hal ini pada beberapa kesempatan, di antaranya dalam surat Fussilat:

سنريهم آياتنا في الآفاق وفي أنفسهم حتى يتبين لهم أنه الحق من ربهم

“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kebesaran) Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu adalah benar. Tidak cukupkah (bagi kamu) bahwa Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?”

Ibnu Katsir menjelaskan dalam tafsir ayat ini, bahwa tanda-tanda kebenaran Tuhan itu adalah keajaiban manusia, seluruh yang ada dalam tubuh manusia dan jiwanya mengandung tuntunan pada kebenaran dan hikmah besar dari Penciptanya.

Dengan bersihnya batin para Nabi, mereka selalu bersama dengan Tuhannya, menemukan serpihan yang hilang yang dicari sekalian manusia, dan karena beningnya cermin batin mereka, mereka dapat dengan jelas menyaksikan keajaiban-keajaiban alam Malakut dalam keadaan terjaga yang hanya bisa disaksikan kebanyakan manusia dalam mimpinya.

Baca juga: Revolusi Mental Perempuan di Dunia Pendidikan, Webinar Muslimat NU Sudan Vol. II

Mereka dapat mengontrol bukan hanya dirinya sendiri, melainkan bisa mengontrol eksistensi lain di dunia ini. Sebagai contoh, bagaimana sebuah benda mati berupa pohon dapat berjalan menuju Nabi Muhammad SAW ketika disuruh, tongkat Nabi Musa AS yang dapat berubah menjadi ular besar saat dikehendaki tuannya.

Dan keistimewaan mereka yang telah dengan jelas memandang refleksi Ilahi, tidak perlu melelahkan diri mereka dengan belajar demi menerima ilmu pengetahuan, pengetahuan mereka berasal dari Sang Maha Mengetahui, sehingga intuisi mereka cukup sebagai ganti dari susah payah manusia lain ketika mencari pengetahuan.

Bersambung…

Penulis: H. Muthiullah Hibatullah B. Sh

Sumber bacaan:Tafsir Ibn KatsirAl Kaimiyaa’ as Sa’adah karya Abi Hamid Al Ghazali

Tinggalkan Balasan