Musibah virus Corona (Covid-19) bukan sebatas soal kesehatan, melainkan soal kemanusiaan yang menghentikan lalu lintas kemitraan global. Setelah dinyatakan sebagai Global Pandemic oleh WHO (Organisasi Kesehatan Dunia), virus Corona memperlihatkan bahwa Kesehatan yang sebenarnya memimpin dunia ini, bukan ekonomi atau politik sebagaimana mobilitas seorang aktor atau tokoh penting dalam ekonomi dan politik berhenti karena tidak ingin menjadi sebab atau musabab pemindahan virus yang keberadaannya tidak bisa bergerak atau berpindah sendiri. Hal ini terlepas dari isu dan fakta terkait “kekuatan” yang hendak menciptakan keseimbangan baru dunia sebelum pandemi di Wuhan itu muncul.
Saat ini, lebih dari 200 negara lumpuh dan sulit berinteraksi hingga berakibat pada banyaknya perusahaan yang bangkrut dan pengangguran meningkat. Rasa solidaritas kemanusiaan benar-benar teruji di tengah lalu lintas perhubungan dan perdagangan macet total. Solidaritas institusi swasta perlu bersinergi menggalang bantuan sebagaimana negara merelokasi anggarannya dan memacu kesadaran warga melalui media sosialnya. Kedua institusi bergerak bersama tanpa harus bertemu langsung untuk memutus mata rantai wabah sambil mengingatkan pentingnya interaksi dan silaturahminya hanya dengan video call tanpa mengesampingkan kondisi ekonomi keluarga atau masyarakat rentan-miskin. Pertahanan politik-ekonomi nasional paska guncangan Corona juga hal yang harus diperhitungkan di tengah tantangan global. Semua negara berikhtiar membangun kesadaran pentingnya “diam di rumah” disamping menyiapkan pergerakan dan anggarannya sebagaimana ikhtiar Pemerintah RI dengan anggaran lebih dari 400 triliun.
Dalam skala internasional, virus Corona selain menggerogoti solidaritas antar bangsa juga meruntuhkan rangkaian program pembangunan berkelanjutan. Krisis ini membuka peluang bagi tiap negara untuk menguatkan rasa nasionalisme warganya dan mengurangi ketergantungannya dengan negara lain tanpa terpancing oleh sentimen SARA seperti warga negara Barat dan Arab yang memanggil warga Asing dari Asia dengan panggilan “Wuhan” (Cina) dan “Korona” sempat terjadi. Para negarawan mulai mengambil langkah setelah memilih berjuang dengan paradigma mensejahterakan umat manusia bukan paradigma membahayakan kemanusiaan. Para rohaniawan mengingatkan pentingnya manusia memperkuat “kehambaan diri” kepada Tuhannya hingga menguatkan solidaritas kepada sesama manusia.
Paradigma perjuangan rentan diuji oleh stigma politik bahkan perebutan hegemoni. Seandainya konflik antar negara adidaya telah memasuki fase perang biologis sebagaimana disebut dalam literatur, dimana keterkaitannya dengan virus Corona yang notabene bermula dari peristiwa Wuhan? Apakah ada teori bahwa negara kuat serius mensejahterakan manusia-manusia di negara lemah tanpa mengambil untung secara eksploitatif di tengah krisis? Tentu jawaban tidak sesimpel yang dibayangkan jika Corona terjadi by design. Semua bangsa berharap hidup rukun meskipun masih dianggap Utopia dan seolah tidak akan terjadi tanpa campur tangan Tuhan. Isyarat sejarah yang terekam dalam Al-Qur’an memberikan kabar gembira akan adanya anugerah di balik konflik yaitu sebuah titah Tuhan membuka kemenangan umat Islam paska perseteruan dua kutub kekaisaran Romawi dan Persia yang akhirnya berujung pada kekalahan keduanya. Banyaknya tempat-tempat kemaksiatan di seluruh dunia yang tutup akibat virus Corona adalah sisi anugerah di balik musibah Corona.
Sejauh mana tantangan global paska guncangan politik-ekonomi akibat virus Corona? Kaidah awal, perjalanan penyakit yang mendunia tidak bisa terlepas dari nuansa politik dunia. Dalam hal ini, semua sektor negeri dan swasta sedang mengantisipasi dampaknya. Anatomi sistem sosial pun bisa ambruk jika agama tidak mampu mengatasi kepanikan masyarakat yang melebihi batas wajar hingga memperlebar pintu penyakit, bahkan penyakit sosial dan kriminalitas akibat kesalahpahaman dan kelaparan. Diantara fenomena kepanikan adalah pembakaran stasiun 5G yang dilakukan oleh sekelompok pemuda di Inggris akibat terpengaruh teori konspirasi. Sehebat apa pun konspirasi manusia tidak akan menang dengan konspirasi (baca: makar) Tuhan.
Analisa tentang adanya konspirasi virus Corona tatap penting untuk dipertajam sebagai motivasi anak bangsa agar mandiri diatas bangsanya sendiri bukan ketergantungan dan kecanduan dengan kemandirian bangsa lain. Sebelum Corona terjadi, strategi perang biologis sudah maklum diperbincangkan di banyak literatur dan sumber medsos terpercaya. Musibah global yang pernah menimpa Indonesia dan perlu diambil pelajaran adalah sebuah diskursus tentang circulus vitiosus alias “lingkaran setan” yang dimainkan oleh WHO CC (WHO Collaborating Center) saat wabah flu burung. Pemerintah RI, dalam hal ini Menkes mengungkap bahwa WHO CC telah mengirimkan virus ke negara kaya untuk dibuat vaksin kemudian diperjual-belikan. Negara kaya telah menjadikan vaksin sebagai komoditas dagang yang baru. Menkes RI setelah mengungkap, melakukan protes ke WHO ketika menjabat Menkes periode 2004-2009. Sosok Menkes Siti Fadilah Supari akhirnya menulis pengalaman buruknya dalam buku berjudul; Saat Dunia Berubah; Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung (2008). Suatu saat, pertanyaan apakah virus Corona bagian dari hal yang natural/murni kecelakaan atau rekayasa/by design akan terjawab.
Pada tahun 2008, Menkes Supari dengan perjuangannya yang all out untuk keadilan dan kemanusiaan tersebut mengatakan bahwa selama 50 tahun, sistem pengorganisasian kesehatan dunia berlangsung sangat eksploitatif dan dimainkan oleh WHO CC yang secara sepihak mengirimkam sampel virus ke perusahaan negara maju untuk diteliti dan dikembangkan menjadi vaksin kemudian dijual secara komersil dengan harga mahal ke negara miskin dan berkembang.
Perdagangan dalam situasi krisis virus Corona berpotensi menciptakan ketergantungan layaknya bantuan dan hutang yang dibiasakan. Ketergantungan dibuktikan oleh adanya timbal-balik antara negara kuat dan negara lemah yang belum seimbang. Globalisasi masih digunakan sebagai alat eksploitasi negara lemah agar semakin ketergantungan pada negara kuat. Pandemi virus Corona memberikan pelajaran bagi negara-negara kuat di kawasan sub-tropis, terutama AS dan Cina untuk bersikap adil dengan berbagi resep kemajuan kepada negara miskin yang kaya sumber daya alam dan sumberdaya hayati.
Pandemi virus Corona disinyalir memindahkan kiblat ekonomi dunia dari Amerika (AS) ke Cina (RRT). AS semakin kehilangan kepercayaan untuk tampil mengendalikan laju perdagangan internasionalnya, terlebih setelah jumlah korban virus Corona berada di urutan pertama sehingga merasa perlu meminta bantuan kepada Cina sebagai “musuh geo-politik-nya” yang pertama kali terdampak dan segera keluar dari wabah virus Corona. Pada tanggal (4/4), dalam waktu sehari tercatat 1.500 orang meninggal di AS akibat Corona. Presiden AS (Donald Trump) tidak punya pilihan lain kecuali keselamatan rakyatnya dibanding hegemoni AS di pentas global melalui konflik geo-politik dengan China.
Di luar prediksi, Cina sebagai negara eksportir terbesar dunia mampu bangkit dari badai virus Corona dan membantu negara-negara sahabatnya, termasuk Indonesia demi menjaga simpati dan solidaritas. Jika seandainya virus seperti yang diasumsikan sebelum pandemi merupakan senjata biologis dan alat konspirasi AS untuk menyingkirkan hegemoni Cina, maka justru kehendak Tuhan berbicara lain.
Perubahan mindset globalisasi menjadi perhatian para ilmuan dan pengusaha setelah covid-19 menghancurkan pondasi-pondasi industri dunia. Para pengusaha dipaksa berfikir ulang tentang strategi yang dibutuhkan saat ini maupun mendatang. Tantangan global memaksa negara segera turun tangan menjaga keberlangsungan industri, terutama industri pangan dan obat-obatan disamping menjaga fluktuasi nilai rupiah terhadap dollar sebelum orang-orang kaya dan pengusaha menarik uang yang mereka simpan di bank-bank untuk dialihkan ke aset dan properti, atau disimpan sendiri di rumah. Jika hal ini terjadi, instabilitas politik dan bahkan Chaos akan rentan terjadi hingga status bencana nasional meningkat menjadi darurat nasional. Waliyadzubillah.
Baca juga : Meraih Pahala Bagi Perempuan Saat Haid
Kebijakan Pemerintah untuk menjawab tantangan global akibat wabah menuai ragam respon dan sikap dari warga. Tidak sedikit orang menyikapi Covid-19 layaknya seorang “pengeluh”, meskipun juga ada yang menyikapinya layaknya seorang “pembelajar” menyikapi situasi dan kondisi dengan kegiatan-kegiatan produktif, dan ada juga yang menyikapinya dengan sikap “pengembang” atau pengusaha yang jeli dengan peluang di balik krisis seperti mereka yang melakukan bisnis masker setelah memprediksi pandemi akan berlangsung cukup lama. Dampak global secara langsung menantang siapa saja, baik yang mobilitasnya tinggi atau rendah untuk tetap produktif dan solid. Wal hasil, tantangan global saat ini harus dihadapi dengan prinsip; mencegah datangnya kemudlaratan (bahaya) didahulukan daripada menarik kemanfaatan. Melihat tantangan global sebelum dan sesudah virus Corona mengingatkan bahwa sikap bisnis seperti biasa, business as usual sudah tidak layak digunakan oleh generasi bangsa ini. Wallahu A’lam.
Penulis: Ribut Nur Huda (Mustasyar PCINU Sudan)
Bagikan ini:
- Klik untuk berbagi di Linkedln(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di WhatsApp(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk membagikan di Facebook(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi pada Twitter(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di Telegram(Membuka di jendela yang baru)