Covid-19; Lockdown dalam Kisah Islam Terdahulu

Akhir-akhir ini, mulai masuknya tahun baru 2020 bumi digemparkan dengan munculnya wabah Covid-19. Penulis menyebut nama wabah tersebut kece, namun nyatanya ia tak sekece namanya sebab telah terbukti membunuh lebih dari 161.944 orang dan menginfeksi lebih dari 2.359.205 jiwa di seluruh dunia, menurut data per-Minggu, 19 April 2020. (Worldometers)

Covid-19 lahir di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, China tanggal 17 November 2019. Dengan usianya yang dibilang masih sangat muda ia sudah menyebar di 213 negara. Covid-19 merupakan makhluk pembunuh yang mematikan, karena hingga hari ini pun masih menjadi headline dan trending topic yang viral membicarakan tentang dirinya. Dunia mulai panik menghadapi virus ini, sebab bisa saja ia akan menghabisi semua manusia yang ada di dalamnya. Hampir semua negara, bahkan tidak menutup kemungkinkan semua negara yang telah maupun yang belum terinfeksi saat ini mulai mengambil berbagai langkah pencegahan penyebarannya. Paris dan Kuwait misalnya, yang memberlakukan sistem lockdown, ditutupnya Masjidil Haram dan Masjid Nabawi di Makkah dan Madinah, dikosongkannya sementara Ka’bah dengan ditangguhkannya visa umroh oleh Saudi Arabia, hingga ditutupnya berbagai Universitas dan sejumlah lokasi wisata di negeri Zamrud Katulistiwa tercinta Indonesia yang berhenti beroprasi sebagai upaya sterilisasi. Diikuti oleh beberapa negara lainnya termasuk Jepang dan Malaysia.

Adapun di Indonesia sendiri 6.575 pasien positif, 582 orang meninggal dunia dan 686 orang dinyatakan sembuh. Menurut data tirto.id pada Minggu sore DKI Jakarta dan Jawa Barat adalah dua kota terbayak yang terinfeksi Covid-19, DKI Jakarta: 3.032 kasus, 234 sembuh, 287 meniggal, sedangkan Jawa Barat 696 kasus, 45 sembuh, 59 meninggal.

Jika dilihat dari statistik rincian data penyebaran yang ada, ini merupakan hal yang sangat luar biasa begitu cepat dan sangat berkemungkinan akan terus melonjak. Maka kita sebagai masyarakat sudah menjadi kewajiban untuk mengikuti arahan pemerintah dan para medis terkait pencegahan, penawaran sekaligus pengobatan terhadap virus ini. Banyak cara yang mereka sarankan hingga mereka wajibkan untuk mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari. Dari beberapa anjuran dan himbauan pemerintah Indonesia kepada masyarakat, lockdown adalah salah satunya.

Lockdown sendiri bisa kita sebut sebagai upaya pencegahan penyebaran virus Covid-19 ini dengan cara melarang masyarakat untuk masuk atau keluar kota, rumah, atau mengunjungi tempat ramai seperti pasar, swalayan, tempat hiburan hingga masjid, dalam artian ditakutkannya kita tertular atau menularkan virus ini, sebab terkadang penderita Covid-19 sendiri tidak merasa mengalami gejala apapun, lebih-lebih ia akan terlihat seperti sakit di beberapa hari setelah terjangkit (2 pekan), walau tidak terlihat akan tetapi Covid-19 langsung bisa menularkan kepada makhluk yang ada di sekelilingnya melalui berbagai cara seperti batuk dan lain-lain, yang demikian merupakan salah satu penyebaran virus ini.

Terkait lockdown, penulis akan mengarahkannya pada kisah terdahulu, throw back masa di mana wabah Tho’un yang hampir mirip seperti Covid-19 dari aspek penularan hingga mematikannya yang menyerang umat pada zaman kekhalifahan Umar bin Khattab.

Amr bin Ash saat menjadi gubernur Syam di era kekhalifahan Umar bin Khattab, beliau mencoba melakukan penelitian atau diagnosa terhadap penyebab penyebaran wabah tersebut. Setelah sekian waktu menelusuri, Amr mengatakan bahwa wabah itu seperti api yang berkobar dan terus menyambar selama masih ada kayu bakar, dia akan terus menyala. Sama seperti halnya manusia, selama masih ada orang yang sehat dia akan terus menyebar. Lantas Amr melihat solusi untuk menghentikan wabah tersebut adalah dengan menyuruh penduduk sehat untuk pergi menyingkir ke bukit-bukit, yang mana kemudian kebijakan tersebut dinamakan isolasi atau lockdown saat ini.

Baca juga: Antara Emansipasi dan Budaya Patriarki

Nah yang jadi pertanyaannya, lantas apa yang harus kita perbuat pada posisi dan situasi seperti ini? Sebab pemberlakuan sistem lockdown ini menyebabkan semua aktivitas terliburkan, sekolah dan kuliah misalnya, maka otomatis bagi siswa/i dan mahasiswa/i tidak memiliki aktivitas yang dikerjakan atau nganggur. Ketika pemerintah memerintahkan kita sebagai masyarakat untuk menaati sistem lockdown atau yang sering kita lihat bersama di media sosial dalam tagar #stayathome dan #dirumahaja. Lalu jika sistem ini diberlakukan apakah aktivitas kita sebagai umat Islam hanya sekedar rebahan? Atau hanya berputar pada siklus makan-tidur-salat, makan-tidur-salat saja di rumah? Tentu tidak kawan!

Jika kita berbica tentang lockdown dan hal apa saja yang harus dilakukan selama pemberlakuan sistem ini, penulis teringat sebuah kisah dahulu saat wabah Tho’un menyerang yang akan dikisahkan pada tulisan dibawah ini:

كان التابعي الجليل

Suatu saat dahulu ada seorang ulama tabiin yang mulia

مسروق رحمه الله يمكث في بيته أيام الطاعون

Masruq rahimahullah ta’ala adalah namanya, ketika itu beliau sedang menetap atau tinggal di dalam rumahnya pada masa wabah Tho’un menyerang. Kemudian pasti timbul penasaran di antara pembaca, lah terus ngapain di rumah?

ويقول : أيام تشاغل

Maka suatu ketika beliau pun berkata: “Hari-hari itu adalah hari yang sibuk,

فأحب أن أخلو للعبادة

Maka aku lebih menyukainya jika aku memfokuskannya untuk beribadah kepada Allah SWT.”

فكان ينتحى فيغلو للعبادة

Sejak itulah beliau Masruq rahimallahu ta’ala mulai mengasingkan diri, menetap di rumah untuk fokus beribadah.

قالت زوجته : فربما جلست خلفه أبكي مما أراه يصنع بنفسه

Suatu ketika istrinya berkata: “Saat aku sedikit dekat duduk di belakang suamiku ketika itu pula aku menangis, sebab aku melihat apa yang dilakukan suamiku pada dirinya sendiri,

وكان يصلي حتى تتورم قدماه

Yaitu beliau melaksanakan salat dan terus salat sampai kedua kakinya membengkak.”

طبقات ابن سعد : 6/18

Subhanallah, semestinya itulah yang kita perbuat dalam kondisi seperti sekarang ini. Beribadah kepada Allah SWT dan mendekatkan diri pada-Nya. Ibadah bukan hanya salat, tetapi ada juga dzikir, tilawatil Qur’an, bahkan makan dan minum pun jika diniatkan untuk ibadah dapat diartikan sebagai ibadah. Jadi, pada intinya penulis mengajak pembaca semua untuk memanfaatkan waktu sebaik mungkin selama pemberlakuan sistem lockdown ini oleh pemerintah dengan melakukan hal-hal yang bermanfaat yang tentunya dapat menghasilkan pahala dan lebih dekat pada Allah SWT bukan sebaliknya.

Penulis: Riki Adi Pratama

Tinggalkan Balasan