Tanpa Panik, Wabah Corona Secepat Tha’un

Berbicara corona mengingatkan pada fenomena tha’un pada abad-abad sebelumnya. Tha’un dari kata Arab “Tha’ana” yang artinya menikam. Dinamakan tha’un karena memiliki sifat “cepat mematikan” sebagaimana kematian seseorang setelah ditikam dengan pedang. Kecepatannya tidak berbeda dengan fenomena corona saat ini, terlebih belum ditemukan vaksin yang ampuh sebagai penangkalnya.

Ketika tha’un menimpa Bani Israel, mereka sangat panik, kebingungan dan lari dari kampung halaman karena takut mati (Al Baqarah: 243). Ketika Nabi Muhammad Saw di Madinah dan mendengar laporan adanya tha’un di Kufah, Nabi Saw langsung menyebut virus tersebut sebagai kotoran (rijsun) dan siksaan (adzab) bagi orang kafir atas kejahatan dan kekejian yang mereka lakukan. Berbeda jika menimpa orang muslim maka merupakan rahmat dan syahadah. Atas pernyataan Nabi Saw ini, para sahabat merasa senang dan tenang disamping tetap mengikuti protokoler keselamatan dengan tidak pergi ke Kufah.

Selain itu, Nabi Saw menyebut tha’un tidak akan terjadi di Madinah meskipun seandainya wabah dapat terjadi melalui sebab penularan dari luar, Wuhan dalam hal ini memberikan pelajaran bagi masyarakat dunia, terutama umat Islam baik diyakini virus (Cobid-19) tersebut disebarkan oleh Jin atau memang menular sebagaimana pandangan medis. Orang muslim yang telah berikhtiar dan tetap terkena wabah kemudian meninggal digolongkan oleh Nabi sebagai mati syahid. Khalifah Umar bin Khattab membatalkan perjalanannya ke negeri Syam setelah mendapat laporan adanya tha’un yang menewaskan lebih dari dua puluh lima ribu orang.

Khalifah Umar mengamalkan nasehat Nabi agar umat Islam menatap di rumah jika tha’un telah masuk ke suatu negeri sehingga penularan dapat diputus dan tidak menjalar luas ke mana-mana. Melakukan doa bersama dalam skala besar maupun kecil di tengah merebaknya virus bukan sebuah solusi, bahkan termasuk perbuatan bid’ah sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu Hajar Al Asqolani yang pernah mengalami duka mendalam setelah ketiga putrinya meninggal dunia akibat tha’un. (Kitab Badzlu Al Maun Fi Fadhl Al Thaun). Diriwayatkan bahwa tha’un hanya menimpa orang-orang kafir atas perbuatan keji (fahisyah) yang merajalela di kalangan mereka. Sebagian ahli medis menyebut tha’un bermula dari virus yang ada pada tikus, kemudian masuk ke dalam diri manusia melalui darah atau langsung paru-paru. Demikian halnya dengan corona yang dikenal bersumber dari kelalawar.

Baca juga: Dakwah NU, Melawan atau Diam?

Wabah (penularan tha’un) pada dasarnya tidak berkaitan dengan agama dan menimpa siapa saja, berbeda dengan tha’un itu sendiri. Gerakan yuk diam di rumah bagi umat Islam bisa diisi dengan muhasabah, mendirikan sholat dan menyalurkan zakat untuk menjauhkan keluarga lemah dari virus tha’un tersebut. (Al Ahzab: 33-34). Uluran tangan sangat dibutuhkan oleh keluarga tidak mampu, terutama yang berpenghasilan harian agar dapat menyambung hidup setiap hari.

Wuhan yang merupakan sumber corona memberikan pelajaran berharga bagi setiap orang, terutama umat Islam akan hikmah menjaga makanan dan kebersihan sebagaimana yang telah diajarkan dalam Islam sehingga semakin lestari, terutama dalam upaya menjauhi perbuatan keji (fahisyah) sebagai bentuk konsistensi seorang Muslim. Menjadi seorang mu’tazilah alias banyak menyendiri dan menghindari keramaian jauh lebih baik daripada menjadi khawarij alias banyak keluar rumah dan kluyuran ke tempat-tempat ramai. Selain itu, memperhatikan fatwa ulama dan anjuran medis adalah kunci keberhasilan melawan corona. Tentu harus dibarengi rasa optimis bahwa wabah akan usai dan semua penyakit pasti ada obatnya. Corona adalah sebab dekat yang menyebabkan kematian tanpa mengganggu keyakinan bahwa sebab yang jauh dan sesungguhnga hanyalah Allah Swt. Wallahu A’lam.

Penulis: Kiai Ribut Nur Huda (Mustasyar PCINU Sudan)

Tinggalkan Balasan