Perayaan Maulid Nabi Muhammad Menurut Syekh Awadl Al-Karim Utsman Al-Aqli

Intisari dan ringkasan ceramah Syekh Awwad Al-Karim Utsman Al-Aqli As-Sudani, Mustasyar PCINU Sudan, pada acara Maulid Nabi Muhammad SAW di Zawiyah Syekh Nadzir Kholid Ad-Diniyyah dan Haul Syaikh Al-Arif Zakariya At-Thayyib, mufti mulia madzhab Miliki di Sudan (Sabtu, 24 Rabiul Awwal 1441 H. bertepatan pada 22 November 2019 M.)

Allah Berfirman:

يأيها الذين ءامنوا لاترفعوا أصواتكم فوق صوت النبي ولاتجهروا له بالقول كجهر بعضكم لبعض أن تحبط أعمالكم وأنتم لاتشعرون

“Janganlah kalian meninggikan suara-suara kalian melebihi suara Nabi, dan jangan kalian berbicara keras kepadanya seperti kamu berbicara keras pada sesama kalian karena akan merusak amal kalian sedangkan kalian tidak menyadarinya.” (Al-Hujurat: 2).

Imam Malik bin Anas berpendapat bahwa menghormati Nabi SAW di saat hidupnya sama dengan setelah wafatnya dan berbicara mengenai Rasulullah SAW dan hadisnya (tanpa mengormati) dapat membuat amal menjadi sia-sia.

Kami mengatakan bahwa kata Ihtifal (Merayakan) itu artinya ihtimam (memperhatikan) . Ihtifal kelahiran Rasulullah SAW adalah bukti dari kecintaan dan bukti mengagungkan Rasulullah SAW. Hari lahir Rasulullah SAW lebih patut dirayakan dan di dalamnya terdapat nilai-nilai pendidikan serta menanam biji kecintaan kepada Rasulullah SAW.

Orang-orang yang melarang ihtifal adalah merek yang tidak memiliki dalil, baik dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, tidak juga dari pendapatan dan tindakan para Salafus Shalih, bahkan tidak ada dalil Syubhat mengenai larangan untuk melakukan perayaan hari lahir Rasulullah SAW. mereka hanya berpegang teguh pada satu dalil keumuman hadits saja yaitu:

“من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد”

“Siapa saja yang telah melakukan hal baru dalam perkara (agama) kami, yang tidak termasuk dari golongan perkara terebu maka itu tertolak”. (Muttafaq Alaihi).

Mereka telah salah. Hal ini timbul karena mereka tidak belajar kepada ulama-ulama (yang benar) dan tidak mengambil ilmu dengan mata rantai keilmuan (sanad) yang sampai ke Rasulullah SAW. Mata rantai keilmuan itu termasuk perkara agama, “Dan jika tidak ada isnad maka siapa saja akan berkata apa saja yg mau dia katakan”. Sebagaimana Ibnu Mubarak pernah berkata “Dalam sanad itu terdapat kebarokahan dan mendapatkan taufik dalam belajar ilmu syariat.”

Saya akan menjelaskan kesalahan-kesalahan mereka, bahwa Nabi SAW pernah bersabda “Perkara apa saja yang bukan termasuk dari golongan perkara kami (ما ليس منه فهو رد), maka perkara itu tertolak”. Beliau tidak mengatakan “Apa saja yang dibuat baru dalam perkara kami maka perkara itu tertolak ” (ما أحدث في أمرنا هذا فهو رد) . Apa makna kalimat ” Apa saja yang bukan termasuk golongan perkara kami (ما ليس منه )? Itu artinya sesuatu yang tidak sejalan dengan kaidah umum dalam agama Islam, atau perkara yang bertentangan dengan nash shorih atau qiyas jali maka kami akan menghukumi perkara ini bukan termasuk perkara agama Islam.

Mari kita lihat, apakah sutau perkara melanggar nash shorih? Atau melanggar qiyas jali? atau melanggar Ijma’ ulama (kesepakatan ulama)? atau melanggar kaidah umum yang telah paten dalam agama Islam? Apabila perkara ini memang begitu maka perkara tersebut tidak termasuk dari perkara agama. Mereka bahkan tidak memahami makna “perkara yang bukan termasuk perkara kami”. Kami mengatakan, maulid Nabi itu murni ajaran agama Islam karena mengagungkan Nabi Muhammad SAW adalah anjuran syari’at.

Mereka juga mengemukakan argumentasi “Apabila perkara ini baik maka sudah pasti dilakukan Nabi, ulama-ulama Mujtahid, maka perkara ini tidak terdapat kebaikan padanya.”

Hujjah ini di kalangan ulama Mantiq disebut dengan hujjah khitobiyyah bukan hujjah mantiqiyyah. Dan di kalangan ulama ushul fiqih berkaitan dengan sebuah kaidah “Perihal meninggalkan tidak menimbulkan hukum (الترك لاينتج حكما) . Pada masa tadwin (pembukuan), para sahabat Nabi membukukan ucapan, perbuatan dan ketetapan Rasulullah SAW, akan tetapi kami tidak menemukan dalam sejarah Islam sejarah mulai masa kenabian sampai zaman kita sekarang satu kitab pun yang membahas mengenai hal yang ditinggalkan oleh Rasulullah SAW. Maka perihal suatu perbuatan yang ditinggalkan Nabi SAW tidak dianggap sebuah dalil yang mengindikasikan larangan kecuali jika sudah jelas illat (alasan) larangan itu.

Akan tetapi, disana terdapat sebuah dalil yang sebaliknya. Kami berpendapat bahwa Rasulullah SAW melakukan perayaan dengan cara sederhana karena beliau panutan orang-orang tawadhu’. Maka Rasulullah SAW melakukan perayaan dengan cara kesederhanaannya, yaitu dengan berpuasa dan kita juga tahu bahwa Allah SWT memperhatikan kelahiran para Nabi dalam Al-Qur’an. Allah SWT menceritakan kepada kita kisah kelahiran Nabi Isa AS dalam surat Maryam. Adapun para Sahabat Nabi, mereka disibukan dengan hal yang lebih penting pada zaman itu, yaitu memperluas wilayah Islam dan menyebarkan Islam ke wilayah Timur dan Barat.

Sedangkan para Tabi’in, Tabi’ Tabi’in, dan imam Mujtahid juga demikian, pada masa tadwin, perhatian mereka yang pertama adalah focus menghafal Al-Qur’an, mengumpulkan Al-Qur’an, membukukan qiroah serta sanadnya, dan membukukan penafsiran para sahabat Nabi yang dinukil langsung dari Rasulullah SAW. Mereka juga disibukan dengan pembukuan hadits Nabi dan membuat kaidah ilmu Syariat. Maka para ulama salaf generasi pertama tidak merayakan Hari lahir Rasulullah SAW bukan karena mereka tidak menganggap bahwa perayaan itu tidak pantas, akan tetapi mereka sangat disibukan dengan kewajiban waktu. Dan pada waktu yang sama, terdapat sisi-sisi politik yang membuat mereka tidak merayakan Hari Lahir Rasulullah SAW.

Pada zaman tersebut, Bani Umayyah memiliki perselisihan yang sudah masyhur dengan Sayyidina Ali R.A, sehingga mereka mencerca Sayyidina Ali R.A di atas mimbar-mimbar masjid pada khutbah kedua sampai datanglah Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Beliau melarang untuk mencerca Sayyidina Ali R.A dan Beliau menggantinya cercaan tersebut dengan ayat:

إن الله يامر بالعدل والاحسان وإيتاء ذي القربى

“Sesungguhnya Allah Swt memerintahkan untuk berlaku adil dan berbuat kebaikan dan mendatangi karib kerabat….” (Surah An-Naml: 90).

Orang-orang zaman tersebut takut membahas terkait fadhilah Sayyidina Rasulullah SAW karena akan mengarahkan untuk mengagungkan Ahlu Bait. Sedangkan mengagungkan Ahlu Bait merupakan politik yang tidak diterima pada waktu itu.

Demikian pula Bani Abbasiyah, terdapat perselisihan di kalangan mereka dengan Bani Thalib ( keturunan Sayyina Ali R.A) . Terdapat kitab yang terkenal yaitu kitab مقاتل الطالبين yang membahas masalah ini. Semua hal yang berkaitan dengan menyebutkan fadhilah-fadhilah Ahlu Bait Rasulullah SAW maka ditolak seperti perayaan Ihtifal yang kita kenal.

Di abad ke-IV setelah semua masalah tadi hilang, muncullah orang yang pertama kali merayakan maulid Nabi SAW dengan cara kita ini, yaitu seorang Nashir Abu Sa’id Kukburi Ibnu Zainuddin Buktukin seorang Hakim Irbil, bangsa Kurdi yg menikahi saudari Sholahuddin Al-Ayyubi. Imam Dzahabi dalam kitab Tarikh Islam dan Ibnu Katsir dalam kitab Bidayah wa Nihayah, mereka berkata mengenai An-Nashir bahwa beliau adalah orang yang alim, beraliram Sunni, banyak berinfak dalam kebaikan dan seorang Mujahid. Beliau meninggal ketika mengepung Eropa.

Pernyataan bahwa orang yang pertama merayakan maulid Nabi SAW adalah golongan Syi’ah Rafidhah merupakan sebuah kebohongan. Sampai saat ini, Syi’ah Rafidhah masih ada, channel mereka juga ada, maka silahkan kalian buka channel mereka bulan Rabiul Awwal, apakah ditemukan peringatan maulid Nabi Muhammad SAW. Jika mereka benar-benar orang yang pertama melakukan perayaan maulid Nabi Muhammad SAW lantas kenapa mereka menghentikan acara itu sekarang?

Orang yang pertama kali menyusun kitab maulid adalah Abu Khatib Ibnu Duhaiyyah, hafidz Hadist besar. Beliau menyusun maulid kemudian diberi hadiah seribu Dinar oleh Abu Mudzoffar Zainuddin Al-Kukburi. Beliau adalah seorang Hakim umat Muslim. Setelah itu, muncul banyak ulama yang menyusun kitab maulid, diantaranya; Abdu Saroh Al-Maqdisi, Syekh Nawawi, Syamsuddin Ibnu Mas’ud Ad-Dimasyqi, Al-Hafidz Ibnu Katsir, Imam Sakhowy, Imam Jalaluddin As-Syuyuti, Imam Al-Manawi, Ibnu Hajar Al-Haitami, ahli Fiqih terkemuka yang mempunyai kitab maulid bernama Ni’amul Kubro ‘Alal Alam fi Maulid Sayyidi Waladi Adam, Al-Hafidz Ibnu Ad-Diba’i As-Syaiban, pemilik Kitab Taisir Al-Ushul ila Jami’il Ushul, yang dikenal dengan maulid Ad-Diba’i, beliau kalangan Huffadz hadits Rasulullah SAW yang dekat dengan Imam Ibnu Hajar, beliau adalah Hafidz negara Yaman pada zamannya. Ada juga Syaikh Ja’far Ibnu Hasan Ibnu Muhammad Al-Barzanji, seorang Imam dan Khatib di masjid Nabawi yang memiliki keluarga keturunan Huffadz Hadist dan memiliki sanad keilmuan jelas. Mereka menjadi Musnid Haromain sampai lebih dari empat ratus tahun dan sekarang tidak ada sanad-sanad bersambung kepadaku kecuali melalui beliau. Beliau adalah orang mulia termasuk Ahli Bait Rasulullah SAW.

Syekh Sayyid Muhammad berkata bahwa satu-satunya kitab maulid yang lengkap mengenai perjalanan Rasulullah SAW adalah Maulid Al-Barzanji, maulidnya para Ulama yg disyarah oleh Syekh Al-‘Alisy, ulama madzhab Maliki di zamannya. Nama kitab syarahnya adalah Qoulul Munji Syarh Maulid Al-Barzanji dan Syekh Nawawi Al-Bantani Al-Jawi memiliki kitab maulid yang bernama Madarij As-Su’ud dan disyarahkan oleh Syekh Ibnu Zainal Abidin.

Baca juga: PCINU Sudan Gelar Bedah Buku “Kaidah Fikih Politik”

Maulid-maulid yang disusun oleh mereka yang notabene bukan orang awam dan tidak pula orang-orang pasar melainkan sungguh para Hufadz, Mufassir, Fuqoha besar kalangan Ahli Sunnah wal Jama’ah dan sekarang ada orang yang mengingkari acara maulid yang tidak seorang pun dari mereka yang telah mencapai derajat seorang Al-Hafidz. Mungkin kita mengecualikan Ibnu Taimiyah yang sudah sampai derajat Al-Hafidz. Kita memiliki perbedaan pendapat dengan beliau akan tetapi ucapan beliau membingungkan. Di kitab Iqtidla As-Sirath Mustaqim terkadang beliau mengatakan boleh dan terkadang mengatakan tidak boleh, pendapat beliau tidak konsisten.

Adapun keluarga (keluarga pemilik Zawiyah) ini yang kita rayakan maulid Nabi Muhammad SAW di rumah mereka adalah keluarga berilmu bernasab baik, mewariskan keilmuan dari tokoh ke tokoh lebih dari empat ratus tahun. Mereka berkhidmat kepada ilmu syariat, mereka membimbing, mentazkiyahkan, dan mendidik umat sejak Syekh Jadallah Alaih Fataya Ulum. Beliau adalah guru dari para masyayikh di zamannya. Dan beliau lah pemilik tempat yang sekarang ini kita tempati.

Syekh Jadallah adalah guru para ulama Sudan pada zaman mutakhir. Tidak ada seorang alim, guru, orang Sudan, dan sanadnya Sudan kecuali bersambung ke Zawiyah ini yaitu melalui Syekh Nadzir Al-Kholid Al-Mahiy. Beliau merupakan ulama besar Islam yang telah menguasai ilmu syari’ah seperti Ushul, Furu’, ahli bahasa Arab, Ushul fiqh, ilmu Lisaniyyat, sejarah, ilmu Aqliyyah, Mantiq, Adabul Bahts, filsafat, matematika, ilmu Aljabar, arsitek dan ilmu Falak.

Penerjemah: Muhammad Sholahuddin & Eri Muhammad.

2 Responses

Tinggalkan Balasan