PCINUSUDAN.COM – Pada tanggal 28 Juli 2019 tepatnya hari Ahad, Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi) PCINU Sudan melaksanakan kongkow berjudulkan “Menuju Sudan Baru”, adapun judul kongkow kali ini diangkat dengan alasan ketidaktahuan WNI di Sudan terhadap keadaan yang sedang terjadi di Sudan. Maka dari itu mereka menunjuk Ribut Nur Huda selaku pengamat politik sebagai narasumber pertama yang membahas kondisi politik di Sudan, dan sebagai narasumber kedua mereka menunjuk Hardi Zulkarnaen untuk membahas masalah Sudan dari segi pendidikan.
Baca juga: Urgensi Bahasa Arab dalam Islam
Acara tersebut dihadiri oleh puluhan WNI bertempat di wisma PCI NU Sudan. Hilmy Yusuf Attamimi memimpin kelangsungan acara, dimulai dengan pembacaan al-fatihah bersama-sama kemudian dilanjutkan dengan sambutan oleh ketua Lesbumi PCI NU Sudan 2019/2020 Yusron Kamal. Ia mengucapkan beribu-ribu terima kasih kepada audiens yang telah meramaikan acara kongkow tersebut, terutama kepada kedua narasumber yang telah bersedia untuk berbicara pada acara kongkow kali ini, ia juga memaparkan alasan diangkatnya judul “Menuju Sudan Baru”, ia menyatakan “Ketidaktahuan kita akan kondisi politik di Sudan menjadi alasan utama judul ini diangkat, dan apabila kita pulang ke Indonesia nanti kita akan mampu untuk menjawab pertanyaan akan reformasi di Sudan, dan juga kita menerawang terhadap apa yang akan terjadi di Sudan kedepannya” pungkasnya.
Inti acara kongkow dimoderatori oleh saudara Ma’rifat Dzaki Assindi, dengan memaparkan flashback demo di Sudan sejak Bulan Desember 2018 hingga lengsernya Presiden Omar Bashir pada tanggal 11 April 2019, kemudian ia memberikan waktu berbicara kepada Ribut Nur Huda selaku narasumber pertama. Ribut Nur Huda membeberkan secara runtut sejarah Negara Sudan dari awal berdiri hingga terjadinya reformasi kali ini. Sudan merupakan negara jajahan Inggris, dan berada dibawah kekuasaan Dinasti Ottoman Turki. Para darwis –santri di sudan(red.)- melakukan pemberontakan karena kesewenang-wenangan penjajah pada masa itu. Dikomandoi oleh Sayyid Muhammad Al-Mahdi melakukan perlawanan terhadap penjajah yang teerkenal dengan “Tsauroh Al-Mahdiyyah”. Setelah terkalahkannya Inggris berdirilah Khilafah Al-Mahdiyyah di negeri Sudan dan sekitarnya.
Kemudian Sudan kembali dijajah oleh Inggris setelah ia berhasil membunuh Sultan Abdullah dari Dinasti Mahdiyyah. Para Darwis kembali tidak terima dengan penjajahan Inggris yang terkesan sewenang-wenang. Kali ini dipimpin oleh Sayyid Ali Almirghani dan Sayyid Abdurrahman Almahdi mereka melakukan perlawanan. Dan muncullah seorang tokoh bernama Zaim Al-Azhari yang dengan berani mengibarkan bendera Sudan terinspirasi oleh keberanian Presiden Soekarno dari Indonesia yang selalu mendukung kemerdekaan negara terjajah di Afrika. Sudan pun merdeka pada tanggal 1 Januari 1956.
Setelah itu Sudan mengalami beberapa kali pergantian kepemimpinan, hingga akhirnya ketika zaman kepemimpinan Sayyid Shadiq Al-Mahdi seorang tokoh ikhwanul muslimin dari Sudan bernama Hasan Atturabi menggagas reformasi untuk menggulingkan Sayyid Shadiq Al-Mahdi dengan bantuan militer yang kemudian dipimpin oleh Omar Bashir, dengan operasi bernama “Tsauroh Al-inqodz” akhirnya Sayyid Shadiq berhasil digulingkan, dan Omar Bashir kemudian diangkat menjadi presiden. Sudan yang sebelumnya terdapat investor-investor dari barat menjadi sepi dari investor barat dikarenakan tidak sukanya Hasan Atturabi kepada barat, dan kemudian mengundang investor dari asia, pemerintahan Omar Bashir juga kemudian melakukan sapu bersih terhadap partai-partai oposisi, dan pengusiran tokoh-tokohnya seperti Sayyid Muhammad Utsman Al-mirghani yang sekarang berada di Mesir dan Sayyid Shadiq Al-Mahdi yang pergi ke Amerika dan baru kembali beberapa bulan lalu.
Pemerintahan Presiden Omar Bashir menerapkan Syariat islam pada undang-undangnya sehingga menimbulkan konflik ditengah masyarakat Sudan yang majemuk. Sehingga pada tahun 2011 Sudan Selatan yang mayoritas penduduknya beragama kristen memisahkan diri dari Sudan. Seiring berjalannnya waktu Sudan semakin terpuruk karena SDA yang terletak di Sudan Selatan tidak bisa lagi dimaksimalkan. Dan juga faktor korupsi, pertahanan militer, dan mafia menjadi sebab kolapsnya negara Sudan. Peperangan antar suku semakin memanas, dan ekonomi mengalami krisis yang berkepanjangan, hingga akhirnya Presiden Omar Bashir melakukan blunder dengan menaikkan harga makanan pokok hingga menyebabkan demo di Atbarah yang berlangsung anarkis sampai membakar gedung Partai Muktamar Wathony. Dan berlanjut dengan rentetan demo berikutnya yang menuntut mundurnya Presiden Omar Bashir hingga akhirnya lengser pada tangggal 11 April 2019, digantikan oleh Ahmed Awad bin Auf, hanya berselang satu hari ia dilengserkan, dan digantikan oleh Abdul Fattah Abdurrahman Al-Burhan.
Tuntutan rakyat Sudan yang meminta presiden dari golongan sipil tidak bisa direalisasikan oleh pemerintahan Presiden Abdul Fattah, dan mereka terus melakukan pemblokiran jalan di wilayah kementrian pertahanan hingga akhirnya pada tanggal 3 Juni pihak militer melakukan sapu bersih pemblokiran jalan, dan memutus jaringan internet. Beratus-ratus korban jiwa terhitung pada peristiwa tersebut. Berselang satu bulan kemudian terjadi kesepakatan antara militer dan sipil untuk membentuk pemerintahan transisi dan internet kembali diaktifkan. Kedepannya Sudan akan merumuskan dasar negara yang akan menjadi acuan.
Kemudian dilanjutkan oleh Hardi Zulkarnaen selaku pembicara kedua yang membahas segi pendidikan. Pada masa Presiden Omar Bashir, pemerintah menganggarkan APBN untuk pendidikan hanya sekitar 1%, yang mana itu merupakan sebuah kehancuran bagi sebuah negara mengingat faktor utama beberapa negara menjadi maju adalah pendidikan. Seperti yang dilakukan Malaysia ketika meningkatkan anggaran untuk pendidikan menjadi 15% yang mana itu memberikan efek yang signifikan dalam kemajuan negara.
Kemudian acara dilanjutkan dengan beberapa tambahan dari audiens, Eri Prasetyanto menambahkan pemberontakan terhadap pemerintahan yang sah dikhawatirkan timbulnya kerugian yang lebih besar dan ia berpedoman pada pendapat beberapa ulama’. Dan itu terjadi di Sudan, dalam beberapa bulan terakhir Sudan mengalami chaos yang begitu dahsyat.
Sesi berikutnya adalah pertanyaan, Hilmy Yusuf Attamimi menanyakan apakah Sudan kedepannya akan lebih baik, meningat keadaan sekarang yang cenderung stagnan ditambah masih maraknya demo. “Sudan yang dulu selalu dipimpin oleh militer, dan sekarang kita dihadapkan dengan pertempuran antara militer melawan sipil. Untuk sekarang sipil berhasil mendominasi kesepakatan dan muncullah pembentukan pemerintahan transisi selama 3 tahun untuk menyingkirkan orang-orang kepercayaan Omar Bashir dalam pemerintahan” jawab Ribut Nur Huda.
Sesi inti acara ditutup dengan closing statement dari kedua narasumber
“وعالم بعلمه لم يعملن ** معذب من قبل عباد الوثن” dari Hardi Zulkarnaen.
Dan dari Ribut Nur Huda “Jangan pandai melihat orang lain, lihatlah diri sendiri”.
Acara pun ditutup oleh Hilmi Yusuf Attamimi dengan membaca hamdalah secara berjamaah.//(Aza)
Bagikan ini:
- Klik untuk berbagi di Linkedln(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di WhatsApp(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk membagikan di Facebook(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi pada Twitter(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di Telegram(Membuka di jendela yang baru)