Menggurukan Bacaan Qur’an

Salah satu bab yang perlu diperhatikan saat membaca Quran adalah waqof-ibtidaknya, yakni kapan berhenti dan kapan memulai bacaan. Memang di dalam cetakan mushaf biasanya sudah ada tanda-tanda baca pembantu untuk memudahkan waqof-washol. Namun hal itu -menurutku- belum mencukupi, sebab beda cetakan kadang beda tandanya.

Maka hal yang paling baik adalah dengan cara memahami dasar bahasa Arab sehingga sedikit banyak bisa tahu mana mubtada’ mana khobar, mana qoul mana maqol. Tapi kalau memang tidak (atau belum) sempat ngaji ilmu alat, cara paling mudah adalah dengan menggurukan bacaan Quran. Yakni berupa setoran baca Quran bi an-nazhri (membaca mushaf menghadap guru).

Tentu guru yang dimaksud adalah yang terpercaya, punya riwayat ngaji juga, dan paham dengan seluk beluk ilmu baca Quran dasar, berupa ilmu makhraj, tajwid, gharib, dan musthalahat. Lebih bagus lagi jika gurunya memang ahlul Quran, yakni seorang yang hafal dan faham tafsir Quran beserta segenap cabang keilmuannya, serta memiliki legitimasi sanad Quran dari guru-gurunya hingga Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam.

Sejak tiga tahun lalu, KHR. Najib Abdul Qadir Munawwir (Pengasuh Pondok Pesantren Al-Munawwir Jogjakarta) membacakan bacaan Quran sebanyak satu lembar tiap pagi secara tartil-tahqiq. Perlahan dan jelas makhrojnya. Lalu para santri menirukan bacaan beliau. Format ngaji ini disebut ‘talaqqi’ atau ‘musyafahah’, dan konon model ngaji Quran semacam inilah yang paling tinggi tingkatannya.
KHR. Najib Abdul Qadir Munawwir Krapyak
Kemudian tiap bakda zhuhur selama bulan Ramadan, Mbah Yai juga membacakan Quran. Namun dengan porsi yang lebih banyak, yakni 1,5 juz dengan tempo tilawah sedang. Dan para santri tidak menirukan. Hari ke dua puluh bacaan dikhatamkan dan ditutup dengan doa plus santap buka bersama.
Nah, di dua kesempatan menyimak bacaan Mbah Yai itu, teman-teman santri Madrasah Huffadh Al-Munawwir Krapyak biasanya menorehkan tanda-tanda di mushafnya masing-masing. Biasanya dengan pensil agar sewaktu-waktu bisa dihapus. Kami menandai di mana bacaan Mbah Yai berhenti, di mana beliau memulai bacaan. Misalnya setiap kali ada lafal ‘illa’ (menunjukkan pengecualian) pasti beliau sambung, meskipun ada di awal ayat. Kecuali di lafal ‘illa’ yang tidak bermakna pengecualian (hanya ada 3 tempat di Quran).
Begitulah. Tata cara pembacaan Quran perlu digurukan, apalagi penghafalannya, apalagi pemahamannya. Apa pasal? Selain biar tepat, juga biar nyambung setrumnya dengan orang-orang agung terdahulu hingga Rasulullah yang diwahyui Quran. Tidak asal-asalan.
Pernah suatu hari ada pasangan suami istri datang ke Krapyak, bertemu denganku di masjid. Mereka bilang sudah khatam hafalan Qurannya, menghafal sendiri di rumah, lalu mau minta ijazah sanad Quran jalur Hadratussyaikh Mbah Kiai Munawwir hingga Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam.

Maka merekapun sowan ke ndalem Mbah Yai Najib sebagai pemegang sanad tersebut untuk mengutarakan maksudnya. Sekira sejam, mereka keluar lagi. Kutanya gimana hasilnya. Mereka bilang, jika ingin ijazah sanad harus mau setoran hafalannya dulu kepada Mbah Yai sampai khatam, meskipun memang sudah hafal, kemudian dites simakan.

Hehe, ya jelas. Lha wong yang sudah khatam setoran hafalannya saja belum tentu bisa dapat ijazah sanad kalau belum lancar. Apalagi yang belum setoran. Makanya bagi yang masih sempat, apalagi yang mulai berislam dengan semangat, jangan buru-buru ‘lompat’, musti mau merangkak lambat, ngaji ayat demi ayat, surat demi surat, hingga akhir hayat.//(ziatuwel)

Tinggalkan Balasan