Syarat-Syarat Sah Berpuasa (Bagian 2)

Syarat-Syarat Sah Berpuasa (Bagian 2)
4. Menahan diri dari makan dan minum dengan sengaja di saat berpuasa
, yaitu mulai dari terbitnya fajar shadiq sampai terbenamnya matahari. Kita diperintahkan juga untuk tidak memasukkan sesuatu benda kedalam jauf melalui manfadz maftuh (tempat masuknya sesuatu kedalam tubuh yang alami) seperti mulut, hidung, anus, lubang telinga, dsb. Jauf adalah bagian dalam tubuh yang mampu mengolah makanan dan obat, seperti perut, dada dan kepala. Begitu pula bagian yang menjadi perantara menuju bagian yang memproses tadi seperti saluran kencing.

Dari keterangan di atas, kita bisa menarik kesimpulan bahwa ketika yang masuk ke dalam jauf bukan sebuah benda, seperti; angin, ataupun bau (misalnya bau masakan), maka puasa kita tidak batal.

Lalu bagaimana hukumnya memasukkan sesuatu kedalam jauf, tapi tidak melalui manfadz maftuh (tempat masuknya sesuatu kedalam tubuh yang alami)? Contohnya suntik karena cairan tersebut masuk tidak melalui manfadz maftuh, melainkan dengan membuat lubang di bagian tubuh. Dalam permasalahan ini terdapat empat pendapat, berikut ini rinciannya:

√ Pendapat pertama mengatakan bahwa memasukkan sesuatu dengan suntik membatalkan puasa. Baik suntikan tersebut melalui urat yang ada di tubuh maupun melalui otot. Diantara ulama yang berpendapat seperti ini adalah, as-Syeikh al-allamah Salim Sa’id Bukair Ba Ghaitsan.

√ Pendapat kedua mengatakan bahwa hal tersebut tidak membatalkan puasa secara mutlak, karena cairan tadi masuk kedalam tubuh tidak melalui manfadz maftuh dan bukan termasuk kategori makanan. Diantara ulama yang mengusung pendapat ini adalah as-Syeikh Bukhait al-Muthi’i, Syekh Muhammad Syaltut, DR. Muhammad Hasan Hitu, Dr. Yusuf al-Qardhawi, dsb.

√ Pendapat ketiga mengatakan bahwa hal tersebut akan membatalkan puasa jika cairan tadi disuntikkan melalui urat (baik cairan tadi untuk pengganti makanan ataupun untuk obat), bukan melalui otot (daging). Alasanya, karena urat adalah manfadz yang sengaja dibuka sebagai jalan yang mengantarkan makanan dan obat menuju jauf. Beda halnya dengan otot, karena ia mengantarkan cairan obat tadi menuju jauf dengan cara rembesan (meresap). Diantara ulama yang mengusung pendapat ini adalah as-Sayyid al-Allamah Abdullah bin Mahfudz al-Haddad dan as-Sayyid al-Allamah Zain Bin Sumaith.

√ Pendapat keempat mengatakan bahwa hal tersebut dapat membatalkan puasa ketika tujuan memasukkan cairan tersebut adalah sebagai pengganti makanan. Menurut pendapat ini, ketika tujuannya adalah untuk pengobatan maka puasanya tidak batal, baik cairan tadi dimasukkan melalui urat maupun otot. Lain halnya ketika tujuan memasukkan cairan tadi sebagai pengganti makanan maka puasanya batal, sebagaimana yang telah saya sebutkan sebelumnya. Pendapat ini adalah keputusan yang dikeluarkan oleh lembaga fatwa dan buhust perwakafan di Dubai.

5. Islam. Untuk itu jika ditengah-tengah puasa seseorang menjadi murtad nasalullah al-‘afwa wal ‘afiyyah maka puasanya batal. Dan tidak sah puasanya kecuali jika ia telah masuk Islam kembali. Begitu pula, wajib baginya mengganti puasa Ramadan yang ia tinggal selama murtad.

6. Suci dari haid dan nifas selama menjalankan puasa. Oleh karena itu, ketika seorang wanita lagi kedatangan bulan (haid) atau nifas saat berpuasa meskipun hanya sebentar, maka puasanya batal. Bahkan haram bagi mereka yang sedang haid dan nifas menahan diri dari makan, minum dsb ketika ia niatkan untuk berpuasa. Akan tetapi mereka boleh-boleh saja kok tidak makan atau minum apapun, dengan syarat tidak diniatkan untuk puasa.
Khusus dalam hal puasa, seorang wanita harus mengganti puasa Ramadan yang ia tinggalkan selama masa haid pada bulan-bulan lain selain bulan Ramadan. Lain halnya soal salat wajib, karena ketika ia berhalangan ia tidak wajib mengganti salat yang ia tinggalkan selama masa haid dan nifas.

7. Berakal sehat dan sadar selama menjalankan puasa di siang hari di bulan Ramadan. Untuk itu, jika seseorang menjadi gila ketika sedang menjalankan puasa maka puasanya pada hari itu tidak sah. Adapun dalam permasalahan pingsan atau mabuk yang tanpa disengaja, hal tersebut tidak membatalkan puasa, tapi dengan syarat ia harus sadar, meskipun hanya sebentar pada puasa hari itu.

Baca juga: Kaukab Al-Fushoha; Asyiknya Belajar Bahasa Arab

Demikianlah ulasan singkat tentang syarat-syarat yang harus dipenuhi agar puasa kita sah menurut perspektif fikih. Akan tetapi, kita juga harus memperhatikan hal-hal yang dapat membatalkan pahala puasa kita. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Rasulullah SAW dalam sebuah hadis, “Lima hal yang dapat membatalkan pahala orang yang berpuasa: berbohong, ghibah (membicarakan keburukan orang lain), namimah (mengadu domba), sumpah palsu, dan memandang sesuatu dengan syahwat).” Semoga puasa kita diterima di sisi Allah SWT. Aamiin.

(Admin)

Tinggalkan Balasan