Berbuka Puasa Saat Matahari Benar-Benar Tenggelam

Beberapa waktu lalu penulis diajak oleh beberapa kawan untuk mengikuti acara berbuka puasa bersama yang disponsori oleh seorang dermawan di salah satu asrama kampus. Acara ini diikuti oleh mahasiswa dari berbagai negara terutama yang tinggal di asrama tersebut. Pada saat hidangan telah disajikan dihadapan kawan-kawan yang hadir penulis melihat sebagian kawan-kawan dari Afrika sudah memulai minum dan sebagian sudah makan, padahal waktu magrib atau waktu azan magrib sebagaimana yang terjadwal di masjid-masjid atau aplikasi Muslim Pro telepon genggam masih kurang lebih sepuluh menit dari saat sebagian kawan ini memulai minum dan makan.

Ketika penulis tanyakan kepada salah satu kawan tentang alasan mereka memulai berbuka terlebih dahulu sebelum azan magrib berkumandang, jawabannya karena mereka berpandangan bahwa selama matahari sudah tidak terlihat oleh mata baik itu tertutup oleh bangunan atau gunung di sebelah barat maka hal itu menunjukan waktu “ghurubus syamsi” atau waktu terbenamnya matahari, dan pada saat itulah dimulainya waktu berbuka puasa.
Akan tetapi yang menjadi pertanyaan, benarkah demikian? Apakah cukup ketidak terlihatan matahari di sebelah barat sebagai petunjuk waktu magrib? Bagaimana sebenarnya ulama memandang hal seperti ini?

Sebelumnya perlu kita ketahui bahwa Allah Ta’ala mengikat (waktu) puasa dengan malam hari bukan matahari, karena matahari bukanlah sebagai tanda berakhirnya waktu puasa, hal ini sebagaimana firman-Nya dalam surat Al Baqarah ayat 187 yang berbunyi “Tsumma Atimmush Shiyama ilal Lail”. Maksudnya waktu berakhirnya puasa seseorang itu dengan datangnya malam hari, bukan menghilangnya matahari dari kasat mata, karena terkadang matahari sudah terbenam akan tetapi sejatinya waktu malam (magrib) belum tiba.

Sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim, dari Salamah bin Al Akwa’ berkata: “Kami salat magrib bersama Nabi sallallahu alaihi wa sallam pada saat menghilangnya matahari di ufuk”.

Hadis ini menunjukan bahwa masuknya waktu maghrib atau waktu terbenamnya matahari adalah ketika matahari sudah menghilang di ufuk barat, dan ini hanya dapat dilihat ketika seseorang berada di tengah gurun atau ditengah lautan yang tidak terdapat gunung atau penutup lain di sebelah barat, hampir mustahil dapat dilihat ditengah kota seperti Khartoum!.

Imam Al Hafidz Ibnu Hajar menyebutkan dalam kitab Fathul Bari ketika menjelaskan Hadis Nabi (560) : “Nabi sallallahu alaihi wa sallam salat magrib ketika di wajibkan…”. Sedangkan penjelasan Ibnu Hajar adalah bahwa tidak samar lagi kedudukan terbenamnya matahari sebagai tanda waktu salat magrib adalah ketika disana tidak terdapat penghalang atau penutup (berupa gunung ataupun bangunan) antara pandangan matahari yang tenggelam dengan seseorang yang memandang itu sendiri.

Disamping itu, Imam As Syaukani dalam Nailul Author mengatakan, bahwa ulama berbeda pendapat setelah sebelumnya bersepakat bahwa awal masuknya waktu magrib adalah ketika terbenamnya matahari. Dikatakan juga dengan tenggelamnya lempengan matahari secara penuh, dan semua ini tidak dapat diketahui kecuali ditengah gurun, sedangkan didaerah yang terdapat beberapa bangunan maka proses tenggelamnya matahari di ufuk ini akan susah dilihat secara benar. Pendapat lain mengatakan dengan terlihatnya bintang-bintang malam.

Sedangkan Imam Zaid bin Ali, Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Isa berpendapat bahwa yang dimaksud dengan waktu ghurub atau terbenam matahari itu adalah dengan munculnya kegelapan. Pendapat ini didasarkan pada hadis Ibnu Umar. Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam bersabda : “Apabila malam hari datang dari sini dan siang hari pergi dari sini (menunjuk arah), dan matahari telah terbenam maka telah berbukalah orang yang sedang puasa”.

Baca juga: Keutamaan Mencari Ilmu

Hadis diatas sesuai dengan firman Allah dalam surat Al Baqarah ayat 187 diatas, bahwa malam hari tidak terwujud kecuali dengan terbenamnya matahari di ufuk barat, bukan dibelakang gunung atau bangunan sebuah kota!.

Ibnu Hajar ketika mengomentari hadis diatas berkata, yang dimaksud malam hari datang dari sini adalah dari arah timur sebagaimana dalam redaksi hadis setelahnya. Maksudnya adalah munculnya kegelapan yang dapat disaksikan secara kasat mata (indrawi). Dan terbenamnya matahari disini sebagai syarat kepastian iqbal (datangnya malam hari) dan idbar (berlalunya siang hari). Keduanya melalui perantara terbenam matahari bukan dengan yang lain, dan keduanya disebutkan secara bersamaan karena adanya kemungkinan salah satunya (iqbal atau idbar) sudah tampak akan tetapi sebenarnya matahari belum terbenam.

Qadli Iyadl mengatakan bahwa hadis diatas sudah secara jelas menjelaskan bahwa jika matahari sudah (kelihatan) terbenam akan tetapi malam belum tiba dan siang belum berlalu maka seorang yang berpuasa belum diperbolehkan berbuka.

Di dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim, Nabi sallallahu alaihi wa sallam bersabda : ”Sesungguhnya Bilal azan pada malam hari, maka makan dan minumlah sampai Ibnu Um Maktum azan”. Disini Nabi mengikat waktu seseorang untuk menahan makan dan minum dengan azan Ibnu Um Maktum. Dalam konteks sekarang hal ini untuk memudahkan dalam membuat patokan waktu, karena tidak mungkin setiap menjelang fajar seseorang menunggu waktu munculnya fajar, disamping fajar sendiri tidak mudah dilihat dengan banyaknya pencahayaan lampu-lampu di kota, atau setiap petang seseorang menunggu detik-detik terbenamnya matahari sebagai pertanda masuknya waktu magrib. Oleh karenanya dibuatlah kalender jadwal waktu azan sebagai pertanda masuknya waktu-waktu salat, seperti azan magrib sebagai pertanda masuknya waktu salat magrib dan sebagai pertanda bolehnya berbuka bagi yang berpuasa.

Disamping itu apabila setiap orang hanya menggunakan patokan waktu ghurub atau waktu terbenamnya matahari tidak di ufuk barat, maka orang yang berada dilereng gunung akan berbuka terlebih dahulu daripada yang tinggal di puncak gunung atau diatasnya, padahal sejatinya tidak demikian, dan hal semacam ini rawan menimbulkan kekacauan diantara umat Islam, karena setiap orang dengan mudah menentukan waktu ghurub meskipun berada ditengah kota yang hampir mustahil dapat menyaksikan terbenamnya matahari di ufuk barat.
Adapun hadis yang sering kita dengar, bahwa “Manusia senantiasa dalam kebaikan selama mereka mempercepat berbuka puasa”. Maksudnya adalah apabila matahari benar-benar terbenam dan dapat disaksikan (di ufuk barat tanpa penghalang) atau kabar dari dua orang yang adil, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari.

Kemudian bagi seseorang yang telah berbuka puasa sedangkan matahari sejatinya belum terbenam, maka diharuskan untuk mengqada puasanya di hari lain. Sebagaimana riwayat dari Hisyam bin Urwah dari Fatimah dari Asma’ binti Abu Bakar. : “Kami berbuka puasa pada zaman Nabi sallallahu alaihi wa sallam (masih hidup) ketika langit mendung, tetapi kemudian matahari muncul kembali”. Dikatakan kepada Hisyam “Apakah mereka memerintahkan untuk mengqada?”. Dia berkata “(ada) pilihan selain qada?”. Maksudnya adalah diharuskan mengqada. Wallahu A’lam.//(lukmanfahmi)

Tinggalkan Balasan