Al-Insan Al-Kamil, Perspektif Abdul Karim Al-Jili

Pembicaraan mengenai term-term sufistik dalam dunia Islam tidak pernah mencapai klimaks, mengingat perangkat yang dipakai untuk mencapai ghoyah (tujuan) di dalam tasawuf berupa aktivitas ruhiah (mistis) yang tidak ada kaitan dengan aktivitas ilmiah atau yang bersifat rasional dan tidak diidentifikasi dengan teori-teori yang biasa digunakan dalam ilmu pengetahuan lain yang sifatanya materialistik, akan tetapi lebih memakai bashirotul qalb (mata hati) sehingga akan dapat dicapai tujuan yang dimakud. Bahkan para filsuf dengan ketajaman rasionya belum dapat menyingkap perkara ruhiah diatas.

Oleh karena itu, pemikiran dalam sufistik selalu bersifat khas dan subyektif –yang mau tidak mau- pembicaraan mengenai al-insan al-kamil sebagai salah satu term penting dalam sufistik terpaksa harus dibatasi oleh seorang pemikir tertentu. Meskipun terdapat persepsi-persepsi mendasar yang berangkat dari beberapa sufi dengan titik tolak yang sama. Dengan demikian, pembatasan objek tulisan tentang al-insan al-kamil yang difokuskan pada pemikiran Abdul Karim al-Jili ini mendapat justifikasinya. Sebagaimana ketokohan dan pengaruh al- Jili dalam mengembangkan teori ini dari pemikir sebelumnya -semisal- Syeikhul Akbar Muhyiddin bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Abdullah atau yang biasa dikenal dengan nama Ibnu ‘Arabi.

Abdul Karim al-Jili yang dimaksud disini adalah Abdul Karim bin Ibrahim bin Abdul Karim bin Khalifah bin Ahmad. Nama yang disepakati dari berbagai referensi yang menyebutkan namanya. Al-Jili juga mendapat gelar Quthb ad-Din (poros agama), sebuah gelar mulia dalam tradisi sufi. Dia dilahirkan di distrik Jail, sebuah distrik yang terletak di selatan laut al-Khirz dan selatan gunung al-Birz di Baghdad, Irak, pada awal bulan Muharam tahun 767 H yang bertepatan pada tahun 1365 M. Data ini diketahui sebagaimana disebutkan dalam otobiografi yang dia gubah sendiri; al-Nadirat al-‘Ainiyah.

Baghdad, tempat kelahiran Abdul Karim al-Jili

Persinggungannya dengan berbagai tradisi keagamaan, telah dia jumpai semenjak muda. Sebagaimana perjalanan ilmiahnya ke Persia, Hindia, Zabid (Yaman), Makkah, Kairo, Gaza, dan berakhir di Zabid. Ketika tiba di Zabid untuk pertama kalinya dia berjumpa dengan Syaraf al-Din bin Ismail al-Jabaruty, seorang sufi agung yang mengenalkan kepadanya dasar-dasar tasawuf dan rahasia kehidupan mistis yang kelak banyak mempengaruhi perilaku sufinya. Selain itu dia juga berguru kepada seorang fakih sufi Jamal al-Din Muhammad bin Ismail al-Makdisy, dan Abu al-Ghaits bin Jamil. Nama terakhir ini adalah yang sangat dia kagumi dan banyak disebut dalam buku-bukunya.

Ketika berada di Gaza, Palestina, al-Jili merasakan firasat yang tak biasa; kerinduan yang mendalam kepada guru mulia Syaraf al-Din bin Ismail al-Jabaruty, dan atas dasar itu kemudian dia kembali ke Zabid untuk menjumpai guru mulia itu yang mana pada setahun kemudian wafat. Semenjak itu dia menetap di Yaman sampai akhir hayatnya. Ketika itu pula dia menulis magnum opusnya yang kemudian melambungkan namanya sebagai seorang filsuf sufi. Karya yang dimaksud adalah; “al-Insan al-Kamil fi Ma’rifati al-Awakhir wa al-Awa’il.”

al-Insan al-Kamil fi ma’rifati al-awakhir wa al-awail karya Abdul Karim al-Jili

Al-Jili adalah seorang filsuf sufi yang profilik dalam menulis, karya-karyanya sebagian besar masih berupa makhthuthah (manuskrip), meskipun ada beberapa yang telah tersebar luas, diantaranya adalah al-Kahfu wa al-Raqim. Karya pertamanya ini menjelaskan rahasia-rahasia tersirat dalam basmalah, menggunakan pendekatan dzauq (rasa) yang menjadi karakteristik penulis sufi.

Karya keduanya adalah Jannat al-Ma’arif wa Ghoyat al-Murid wa al-Arif, sebuah risalah yang ditulis dalam bahasa Persia. Selain itu, terdapat 32 karya lainnya, yang sebagian besar masih berupa manuskrip.

Dalam tradisi sufistik, terdapat simbol atau ungkapan rumit yang sukar dipahami kecuali oleh empunya, hal demikian karena simbol atau ungkapan tersebut berangkat dari pengalaman mistis -yang dialami seorang sufi- dimana untuk mengekspresikan pengalaman tersebut para sufi ini menemukan kesulitan untuk menentukan kalimat memadai yang dapat dipahami oleh kebanyakan orang.

Sejak awal kemunculannya, ekspresi pengalaman mistis sufi seperti ini menjadi polemik besar dalam sejarah tasawuf, terutama sejak tasawuf yang dikenalkan oleh –misalnya- Abu Yazid al-Busthomi sebagi corak tasawuf yang cenderung lebih banyak berjibaku dalam pengalaman mistis. Kemudian diteruskan oleh Ibnu ‘Arabi, Suhrowardi al-Isyraqi, dan al-Qunawi, yang kelak tasawuf macam ini dikenal sebagai tasawuf falsafi yang menggabungkan sisi (pengalaman) mistisme seseorang sufi dengan aspek rasio atau burhani yang biasa digunakan dalam tradisi filsafat. Oleh karena itu pengamal sufi jenis ini, diawal kemunculannya mendapatkan tentangan keras terutama dikalangan fukaha. Tidak jarang justifikasi kafir melekat pada mereka. Imam al-Ghazali misalnya. Meskipun tidak menolak kebenaran pengalaman mistis tersebut, akan tetapi dia “keberatan” dengan para sufi yang menggambarkan pengalaman mistisnya, yang menyebutnya akan berbahaya apabila dikonsumsi oleh orang awam.

Al-Insan al-Kamil secara bahasa dapat diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dengan istilah –yang dapat dipahami- “manusia sempurna”. Bagi kalangan sufi, al-insan al-kamil termasuk diantara maqom (kedudukan) tinggi dalam hierarki maqom tasawuf yang dapat ditempuh oleh seorang salik (peniti jalan sufi) dengan menekuni ‘perilaku-perilaku’ yang dapat menghantar pada perjumpaan dengan pertolongan Allah SWT. Seorang sufi yang telah mencapai maqom ini maka jiwanya akan menjadi al-nafs al-kamilah (Jiwa sempurna), dan senantiasa melihat sesuatu dengan cahaya Allah SWT.

Mengenai al-insan al-kamil menurut perspektif al-Jili ini dapat dijumpai lebih mendalam dalam bukunya al-insan al-kamil fi ma’rifati al-awakhir wa al-awail” dan gubahan-gubahan puisinya dalam al-nadirat al-‘ainiyah. Teori ini merupakan pengembangan dari yang sebelumnya pernah dikenalkan oleh Ibnu ‘Arabi. jadi meskipun al-Jili adalah yang membentuk teori ini dalam bentuknya yang final, akan tetapi masih sedikit banyak terpengaruh dari sebelumnya.

Melalui bukunya tersebut dapat dilihat bagaimana al-Jili mengungkapkan sekaligus mengumbar realitas yang bersifat samar/abstrak dari pengalaman mistisnya, yang sukar dipahami kecuali bagi yang memiliki dzauq tinggi pada dirinya. Penulis sendiri dalam membaca pola pemikiran al-Jili yang berkaitan dengan pengalaman mistis ini meminjam cara pandang Yusuf Zaidan melalui bukunya al-Fikru al-Shufi; baina Abd al-Karim al-Jili; Failusuf al-Shufiyah. Pembicaraan pertama yang dikemukakan al-Jili dalam teori ini adalah terkait ahlu al-ghoib, meraka adalah orang-orang tertentu dari kalangan auliya’ (wali-wali) yang tidak menyibukkan jiwanya melainkan dengan dzat ilahi (esensi Tuhan). Ahlu al-Ghaib ini menurut al-Jili memiliki derajat ruhiyah yang bermacam-macam, hal ini mengingat perbedaan kemampuan batin setiap orang dalam menerima manifestasi kebenaran Allah SWT.

Derajat pertama dari ahlu al-ghoib adalah tajalli al-fi’l al-ilahi (manifestasi perbuatan Tuhan). Seseorang yang telah mencapai derajat ini akan merasakan bahwa Allah-lah yang menggerakkan segala perbuatannya sebagai ‘abd (seorang hamba), dan menafikan segala sesuatu kecuali hanya dari-Nya, sekaligus menyandarklan hakikat perbuatan hanya kepada-Nya.

Kemudian derajat kedua adalah tajalli al-asma’ al-ilahiah (manifestasi nama-nama Tuhan). Hal ini tentu setelah seorang salik melewati etape pertama diatas, ketika Allah SWT bermanifestasi terhadap seorang salik melalui nama-nama-Nya, yang ada pada benak seorang salik tersebut hanya nama Allah, bukan selain-Nya. Bahkan ketika terdengar nama Allah maka alam bawah sadar dalam dirinya seketika akan terhubung kepada nama-Nya tersebut, hal demikian bukan berarti Tuhan menyatu pada dirinya [!].

Gambaran daripada fenomena ini sebagaimana dalam cerita Laila Majnun, ketika Majnun seorang pejuang cinta legendaris itu ditanya oleh seseorang, siapa nama anda? Laila!. Seketika secara spontan alam bawah sadar menggiringnya kepada jawaban tersebut.

Kemudian, nama pertama ketika nama-namanya bermanifestasi kepada diri seorang salik adalah al-maujud, ketika itu seorang salik akan berada pada keadaan fana yang sempurna. Adapun nama tertinggi pada derajat ini adalah nama Allah; yang ada pada benak seorang salik hanya nama ini disetiap laku hariannya, dan tidak mengindahkan segala ahal yang dapat melalaikan dari nama ini.

Derajat yang ketiga adalah tajalli al-shifat al-ilahiyah (manifestasi sifat-sifat Tuhan), yang bermaksud bahwa sifat-Nya telah menyinari diri seorang salik, Ini adalah derajat tertinggi pada hierarki ahlu al-ghoib.

Dalam pandangan al-Jili, al-insan al-kamil umumnya adalah kalangan wali yang telah melalui ‘kontemplasi jiwa’ atau mujahadah nafs sehingga dzat Allah tadi bermanifestasi pada dirinya. Meski manifestasi semacam ini tidak secara keseluruhan, namun demikian al-insan al-kamil adalah sosok khalifat Allah fi al-ardl al-haqiqi (khalifah sejati di muka bumi). Sebagaimana Allah SWT isyaratkan dalam surat al-baqarah ayat 30.

Tetapi, al-Jili juga menekankan bahwa sosok al-insan al-kamil secara mutlak yang sering dia sebut di dalam bukunya adalah sosok Nabi Muhammad SAW, selain itu anbiya’ (para nabi-nabi Allah) dan sisanya adalah ‘auliya (wali-wali Allah) yang telah mendapat pancaran cahaya Nabi Muhammad SAW. Al-Jili juga mengisyaratkan bahwa al-insan al-kamil adalah al-quthb (poros) yang diputari oleh segala yang wujud (eksistensi) di muka bumi, dari awal penciptaan sampai akhir, demikian karena sosok al-insan al-kamil adalah shurah (ilustrasi) daripada dzat Allah SWT.

Jadi kesimpulan al-Jili adalah bahwa al-insan al-kamil sebagai khalifat Allah fi al-ardl, pewaris nur muhmmadiyah yang merupakan shurah daripada dzat Allah, sosok ini senantiasa ada dalam setiap masa, tentu dengan shurah yang berbeda sesuai dengan zamannya. Wallahu a’alam.

Penulis: Lukman Fahmi

Baca juga: OSAMA; 2030 Indonesia Akan Bubar?

2 Responses

Tinggalkan Balasan