Oleh Sidik Ismanto
Suatu sore setelah peringatan haul ke dua kematian abahnya, Gus Hakim duduk-duduk di teras rumah. Mengamati bangunan pondok pesantren Attaqwa berlantai tiga yang warna catnya sudah mulai memudar, dan tinggal oleh ribuan santrinya. Padahal waktu Abahnya masih hidup, setiap sore begini pesantren selalu ramai dengan beragam aktifitas. Sayang, bangunan pondok pesantren tua sebesar itu, kini hanya dihuni oleh beberapa gelintir santri saja.
“Hakim, cepat masuk, ambil air wudlu dan imami sholat.” Panggil Uminya dari dalam rumah yang seketika membuyarkan lamunannya.
“Baik mi.” Jawabnya singkat. Langkahnya gontai masuk kedalam rumah Joglo jawa tua yang diwarisi abahnya dari kakeknya Kyai Nawawi.
Setelah kematian abahnya, Hakim terpaksa mengambil cuti kuliah. Sebenarnya bukan atas kehendaknya sendiri, tapi Uminya Nyai Halimah yang meminta.
“Le, kamu temani Umi di rumah ya.” Pinta ibunya menjelang persiapan acara peringatan 40 hari kematian abahnya tempo dulu.
“Saya belum bisa memutuskan mi.” Jawab Hakim bimbang.
Esok harinya ketika acara peringatan 40 hari kematian abahnya digelar. Puluhan Kyai dari berbagai pesantren di jawa tengah turut hadir mendoakan alamarhum, tiba-tiba salah satu kiai dari pekalongan, Kiai Abbas memanggil Gus Hakim.
“Gus, teruskan perjuangan Abahmu ya.” Kyai yang merupakan salah satu kawan karib abahnya ini menasehati. Hakim mengenal betul sosok kiai abbas. Sedari kecil kalau abahnya berkunjung ke ndalem kyai yang dikenal pakar Ilmu Falak ini, pasti selalu mengajak Hakim. Abahnya pernah bilang, bahwa Kyai Abbas adalah seniornya di pesantren. Dialah yang banyak mengajari Abahnya jika mengalami kesulitan dalam memuthola’ah kitab. Suatu ketika Kyai Abbas pernah menerawang Hakim kecil, seraya memegang kepala putera kyai Ansori itu, kyai Abbas berujar, bahwa ia kelak akan menjadi pewaris tunggal pesantren abahnya dan sukses memimpin.
Atas dasar saran kyai Abbas itu, akhirnya Gus Hakim mantap mengambil cuti kuliah dulu. Meskipun pihak Rektorat awalnya sempat menolak permintaanya, mengingat dia akan memasuki tahun terakhir, dan sekarang ia sedang dapat amanah menjadi ketua Badan Eksekutif Mahasiswa. Di rumah Gus hakim tak bisa berbuat banyak, ia tak bisa menggantikan abahnya mengajar ngaji di pesantren, pengajian mingguan abahnya bersama warga kampung juga terpaksa berhenti. Gus Hakim sudah menunjuk santri senior yang dianggap mumpuni untuk melanjutkan pengajian Ihya’ Ulumuddin abahnya, namun tak ada yang datang. Orang-orang desa bilang pesantren tanpa Kiai ibarat kapal yang kehilangan Nahkodanya, tak akan berlabuh dan tak akan ada yang mau naik jika bukan nahkoda handal yang memegang setirnya. Kini pesantren yang telah berumur 90 tahun warisan dari kakeknya itu telah kehilangan figur sentral panutan.
Waktu kecil, Gus Hakim sebenarnya dikenal cerdas bahkan ketika umurnya masih tiga tahun ia telah hafal Juz Amma. Saat memasuki sekolah Ibtida’iyyah Hakim disanjung oleh banyak guru, karena ia cepat sekali menyerap semua mata pelajaran di sekolah.
“Wah, anak Kyai Ansori hebat ya kang udah hafal Nadzom Imriti, Padahal itu baru diwajibkan nanti kelas satu MTS.” Cerita Pak Rahmat guru mata pelajaran Akhlaq lilbanin di Madrasah Ibtida’iyah Pesantren penuh kekaguman.
“Coba ini lihat rapot Gus Hakim, tidak ada satupun murid yang bisa menandingi nilainya.” Papar Kepala MI Pak Imron, sambil menujuk nilai-nilai Hakim dalam raport. Dan seperti biasa ia jadi juara kelas lagi.
Kecerdasan dan prestasi hakim tentu membuat abahnya bangga, dan tidak perlu ragu atas kemampuan Puteranya dalam meneruskan kepimimpinan pesantren Attaqwa kelak. Maklum, Hakim adalah anak tunggal dan abahnya semakin percaya bahwa terawangan Kiai Abbas saat hakim masih kecil akan benar-benar menjadi kenyataan. Namun saat memasuki kelas dua tsanawiyah, nilai-nilai mata pelajaran agama Hakim mengalami penurunan. Ia nampak lebih tertarik menggeluti Ilmu-Ilmu yang bersifat umum, seperti Fisika, Matematika dan Geografi ketimbang ilmu-ilmu agama. Bahkan sudah dua semester ini nilai fisikanya mendapat 100 di raport. Suatu malam, selepas Kiai Ansori mengajar kitab Tafsir Jalalain untuk para santrinya, ia memanggil hakim yang ternyata tidak ikut mengaji.
“Kim, kenapa kamu tidak ikut pengajian abah?” Tanya abahnya dengan suara agak meninggi.
“Saya sedang mengerjakan PR fisika bah.” Jawabnya tertunduk.
“Jadi kamu lebih mementingkan belajar fisika dari pada mengaji Tafsir?” Abahnya tidak puas mendengar jawaban hakim.
“Bukan begitu bah, ini jumlah pertanyaannya sangat banyak.” Ia berusaha menjelaskan pada abahnya, sedangkan kedua tangannya memegang buku PR yang baru terjawab separuh.
“Ada apa ini kok rame-rame” Sahut Nyai Halimah ketika muncul di ruang keluarga, sambil membawakan kopi untuk suaminya.
“Ini bu, Hakim tidak ikut mengaji, dan lebih suka belajar fisika.” kata kyai Ansori menerangkan apa yang sedang mereka perdebatkan.
“Lo gak apa-apa to bah, Fisika kan juga ilmu yang baik.” Uminya hakim ikut memberikan pendapat.
“Iya, saya tahu, semua ilmu itu baik, tapi ilmu Agama tetaplah yang utama.” sanggah kyai Ansori sambil menyeruput kopi buatan istrinya.
“Kalau hakim ndak mau mendalami dengan serius ilmu-ilmu Agama, siapa yang akan meneruskan pesantren ini kelak?” kyai Ansori berpendapat dengan memandang wajah istrinya.
“Sudah bah sudah, itu bisa dibahas nanti, biarkan sekarang hakim belajar dulu.” uminya menengahi.
“Nak, kembali ke kamar dan kerjakan PR-mu. Jangan begadang, nanti susah bangun subuhnya.” Perintah Uminya.
“Jangan terlalu memanja hakim bu, dia harus sadar, bahwa nasib pesantren hanya bergantung padanya.” Gus Hakim masih sempat mendengar sayup-sayup, alasan abahnya memintanya untuk lebih serius memperdalam ilmu agama.
Dibalik-balik alasan-alasan yang dilontarkan oleh kyai Ansori, Nyai Halimah sebenarnya merasa sedih, lantaran ia tidak sanggup memberikan keturunan lagi untuk keluaga itu, setelah ia dinyatakan mengidap kanker rahim dan harus melakukan operasi. Proses memiliki anakpun ceritanya tak kalah berat. Ia dan suaminya Kyai Ansori tak henti-hentinya merapal doa dan ijazah selama bertahun-tahun. ketika Nyai Halimah akhirnya hamil, kyai Ansori bernadzar, jika kelak yang lahir adalah laki-laki, ia akan menyembelih 12 ekor kambing jantan, 2 untuk akikah dan 10 sisanya adalah sedekah, juga simbol setelah sepuluh tahun akhirnya dapat memiliki anak.
Nilai pelajaran Agama yang terus menurun membuat Gus Hakim hanya menduduki peringkat kedua saat lulus dari MTS. kyai Ansori sebenarnya tidak mempermasalahkan, ia dapat ranking berapa, hanya saja yang jadi masalah, semua mata pelajaran agama mendapat nilai enam kecuali pelajaran Tajwid, mendapat nilai delapan. Tak heran selama liburan sekolah itu, Gus Hakim mendapat pitutur Abahnya hampir tiap hari, terlebih ketika ia mengutarakan keinginannya untuk melanjutkan sekolah ke SMA satu di kecamatan, Abahnya langsung memarahinya habis-habisan.
Suatu kesempetan, saat ada rapat pengurus Majlis Ulama Indonesia jawa tengah. kyai Anshori pernah mengadukan masalah anaknya ini kepada kiai Abbas, karena nampaknya, terawangan seniornya di pesantren kali ini meleset, tapi Kyai yang juga dikenal punya kemampuan linueh hanya berseloroh, saya manusia biasa, bisa saja salah. Demikian jawaban singkat yang diperoleh kiai ansori waktu itu.
Dengan keputusan sepihak, akhirnya Kyai Ansori mengirim puteranya ke Pesantren Salaf di kaki Gunung Muria Kabupaten Kudus, meskipun di pesantren baru itu pelajaran Agama lebih mendominasi, tapi minat Gus Hakim tetap tidak berubah, kian hari malah makin menekuni ilmu-ilmu umum, khususnya Fisika, dengan berbekal kiriman uang dari rumah yang lebih dari cukup, setiap hari jum’at dia pergi ke Kabupaten membeli buku-buku sains untuk memuaskan dahaganya, maklum buku-buku sains seperti itu tidak dijual di toko kitab milik pesantren.
Melihat kemampuannya yang sangat menonjol dalam bidang fisika, akhirnya saat gus Hakim kelas dua Aliyah, ia dikirim mewakili sekolah untuk mengikuti Kompetisi Sains Madrasah (KSM) tingkat kabupaten, dan keluar menjadi juara pertama. Perestasi itu juga menjadi sejarah kali pertama untuk madrasah Gus Hakim, yang selama ini hanya dikenal mengajarkan kitab kuning. Bahkan terakhir dia bersama timnya berhasil menjadi juara pertama KSM tingkat nasional yang diadakan oleh Kemeterian Agama Republik Indonesia. Mendengar rentetan prestasi anaknya, kyai Ansori sama sekali tidak bangga, hanya Nyai Halimah yang selalu mengapresiasi apa yang telah dicapai oleh anak semata wayangnya itu.
“Kemampuan Fisikamu tidak berguna untuk memimpin pesantren ini.” Jelas kiai Ansori saat Gus Hakim pulang ke rumah untuk liburan, dan bercerita bahwa ia baru saja memenangi Kompetisi Sains tingkat nasional.
“Bah, saya akan dikirim pihak sekolah, mewakili indonesia di olimpeade tingkat Internasional januari mendatang.”, Hakim mengabarkan, Abahnya hanya diam sambil terus membolak-balik kitab kuning yang dipegangnya. sebenarnya ia gundah gulana, ternyata putera tunggalnya ini malah makin serius saja mendalami Ilmu Fisika.
Nyai Halimah yang mendengar berita gembira dari anaknya itu langsung ikut nimbrung, dan memberinya semangat agar lebih giat belajar serta melakukan persiapan. kyai Ansori menutup kitab lalu menaruhnya di rak, sebelum beranjak dari tempat duduknya suami Nyai Halimah ini memandang istrinya tajam, kemudian berkata kepada hakim:
“Saya tidak memberimu izin untuk berangkat.” Kiai Ansori mengucapkannya dengan mantap.
“Abah….” Belum sempat Nyai Halimah menyelesaikan ucapannya, kyai Ansori sudah berjalan menuju kamar dan menutup pintu.
Hakim menangis mendengar perkataan abahnya saat itu.
“Akan saya bujuk abahmu agar memberimu izin.” bisik Nyai Halimah menghibur, lalu beranjak menuju kamar menyusul suaminya.
Ternyata Nyai Halimah gagal membujuk suaminya, Hakim tidak diberi izin berangkat mengikuti olimpiade yang sedianya akan diadakan di Amerika, keputusan abahnya membuatnya kecewa besar. Namun tidak mengubur semangatnya untuk menekuni bidang Fisika, berbekal nilai ujian nasional tertinggi nomor 3 se Indonesia dan nomor satu se provinsi jawa tengah, juga sertifikat prestasinya, ia akhirnya diterima kuliah di Universitas Indonesia, salah satu kampus terbaik di Negeri ini. meskipun abahnya menentang keras pilihannya, Hakim berpandapat, bahwa kali ini ia tak harus menuruti abahnya yang menginginkannya untuk melanjutkan kuliah ke Timur tengah. Ia tak mau kecewa untuk yang kedua kalinya, bahwa kesempatannya untuk mengikuti olimpeade tingkat internasional telah pupus gara-gara Abahnya. Hakim berandai-andai, kalau saja abahnya dulu mengizinkan mungkin cita-citanya untuk kuliah di Eropa akan tercapai.
###
Rasa kecewa pada abahnya kini sudah hilang, ia justru merasa bersalah, kenapa dulu ia amat terlampau keras kepala. Kadang ia berdialog dengan dirinya sendiri, apa tidak ada jalan untuk mempertemukan harapan abahnya dengan cita-citanya? apa ilmuku ini benar-benar tidak berguna untuk memimpin pesantren?, pertanyaan yang terus menggelayut dipikirannya tidak bisa ia jawab secara tuntas.
Selepas Isya’ sambil makan malam Gus Hakim mengajak Uminya untuk sowan ke Kyai Abbas meminta do’a dan nasehat.
“Bagaiamana kalau kita berkunjung ke kyai Abbas mi”, Nyai Halimah hanya mengangguk sambil mengelus-elus pundak puteranya itu, ia tau bahwa anaknya sedang tertekan.
Pada hari yang ditentukan, mendadak Nyai Halimah sakit, terpaksa Gus Hakim sowan sendirian dengan diantar oleh sopir. Sesampai di rumah kyai Abbas, setelah saling menanyakan kabar dan belum sempat hakim mengadukan masalahnya, Kiai abbas tiba-tiba bercerita, bahwa kejayaan Islam di Masa lalu ditandai dengan banyaknya kajian di berbagai bidang keilmuan, di-era yang disebut dengan ‘Asru Adzhabi (era ke-emasan) ini, banyak melahirkan Imuwan besar seperti Ibnu Sina, alKhowarizmi, alJabbar dan sederet ilmuwan besar lainnya yang kontribusinya diakui oleh Dunia.
Baca: Beasiswa IUA Sudan; Pendaftaran Jalur PCINU Sudan 2018
“Ini yang hilang dalam kajian umat islam sekarang.” Papar kiai Abbas menjelaskan, menurutnya, sekarang terjadi dikotomi yang akut di lembaga-lembaga pendidikan Islam. Ia melanjutkan, bahwa kalau umat islam ingin Berjaya seperti masa lalu harus kembali menghidupkan kajian ilmu pengetahuan tanpa harus membeda-bedakan. Gus hakim menyimak dengan seksama cerita Kiai abbas, ia merasa heran, cerita kiai yang disepuhkan di Pekalongan ini begitu mengena, dan menjawab sebagian besar kegundahannya. Sekarang ia tau, apa yang harus dilakukan untuk At-Taqwa dengan bekal ilmu fisikanya.
Setelah menggeser letak duduknya, Kiai abbas melanjutkan, bahwa tidak ada orang di dunia yang bisa lepas dari Takdir dan Taklif – tanggung jawab. Siapa pun tidak bisa mimilih dari rahim siapa akan terlahir, termasuk lahir sebagai putera kyai, yang kelak akan memimpin pesantren. Namun memimpin pesantren tidaklah cukup hanya berbekal ilmu eksak, karena kyai sejatinya adalah mereka yang ilmu agamanya mendalam. Kematangan ilmu agama tidak akan diperoleh kecuali dengan jalan belajar kitab kuning karya ulama-ulama masa silam yang jelas sanadnya dan terbukti manfaat dan berkahnya.
“Saya sudah lupa cara membaca kitab kuning Kyai.” Hakim mengadukan masalahnya.
“Ya dimuroja’ah lagi, yang istiqomah.” Jawab Kiai Abbas seraya mengelus-elus jenggotnya yang putih.
“Seminggu sekali datanglah kemari untuk ikut pengajian Al-Hikam.” Pinta Kiai Abbas. Gus Hakim mengangguk tanda menyetujui.
Di akhir percakapan Kyai Abbas berpesan supaya Gus Hakim tak lupa untuk menyelesaikan kuliahnya, lalu Kyai Abbas mendo’akan putera adik seperguruannya itu agar difutuh oleh Allah. Ketika pamitan pulang Gus hakim mendapat selembar kertas ijazah berisi do’a supaya ia membacanya tiap menjelang subuh sebanyak seratus kali. Dalam penglihatan dan keyakinan Kyai Abbas, Gus Hakim akan sukses memimpin pesantren At-Taqwa, dan tidak lama lagi orang akan berbondong-bondong datang mengaji kepadanya.
Bagikan ini:
- Klik untuk berbagi di Linkedln(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di WhatsApp(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk membagikan di Facebook(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi pada Twitter(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di Telegram(Membuka di jendela yang baru)
One Response