Hasan At-Turobi; Status Kewarganegaraan non-Muslim di Negara Islam

Sistem bernegara yang berlandaskan hukum islam cenderung membedakan antara Muslim dan non Muslim. Hal ini setidaknya dapat dilihat melalui penjelasan dalam kitab fikih klasik. Sebut saja misalnya kebijakan tentang zakat bagi orang muslim dan pajak bagi non-muslim, belum lagi status sebagai kafir dzimmi untuk non-muslim yang dianggap sebagai warga negara ‘kelas dua. Kebijakan maupun Istilah tersebut tentu dianggap sudah tidak relevan lagi untuk diterapkan menurut sistem negara modern. lalu bagaimana dengan pendapat Hasan At-Turobi? Mari kita simak.

Hasan At-Turobi atau yang akrab disapa dengan At-Turobi adalah salah satu diantara pemikir Sudan yang dikenal di kancah internasional. Pandangannya mengenai konsep hukum islam di era modern cukup maju dan layak untuk dijadikan wacana alternativ, meski tidak semua dapat diaplikasikan dalam konteks keindonesiaan.

Untuk menilisik pandangan Hasan At-Turobi tentang status kewarganegaraan non-muslim dalam negara islam dapat kita telusuri melalui bukunya yang berjudul “Fikih Politik” atau Fiqhu Assiyasi, yang diterbitkan oleh Arab Sceintific, Inc.

Buku ini sebenarnya merupakan kumpulan makalah yang ia sampaikan dalam berbagai forum nasional maupun internasional. Disana kita dapat menemukan gagasan At-Turobi mengenai konsep negara islam yang demokratis dan kritiknya terhadap sistem hukum islam klasik – Fikih dan sistem demokrasi yang dikembangkan di barat.

Sebelum membahas tentang status non-muslim di negara islam, perlu kiranya sedikit mengemukakan pendapat At-Turobi mengenai konsep negara islam. Meski Ia dituduh sebagai sosok pemikir Muslim yang liberal oleh kalangan konservatif, sebenarnya ia masih meyakini bahwa konsep bernegara dengan undang-undang dasar yang bersumber dari ajaran islam masih relevan untuk diterapkan.

Baca: Santri Mbeling EP.1: Pewaris Tunggal Pesantren Tua

Menurutnya, untuk membangun konsep negara islam yang demokratis memang tidak mudah, ada banyak tantangan baik secara teoritis, pun dalam tataran aplikasi praktis. Secara teoritis masih belum ditemukan konsep yang baku untuk sistem negara islam yang ideal. Sedangkan secara praktik, agama justru sering dijadikan menu yang diolah untuk tujuan-tujuan politis yang kotor.

Tapi At-Turobi meyakini bahwa Islam sebagai agama fitri, merupakan ajaran yang meng-Esa-kan Tuhan, menjadikan seluruh aspek kehidupan di dunia ini kembali dan dalam rangka beribadah kepada-Nya, tidak terkecuali urusan bernegara atau berpolitik, ia menggambarkan semua itu dengan kata kulluha lillah dan ibadatun lillah.

Yang perlu dilakukan oleh umat islam adalah verifikasi mana ajaran islam klasik yang masih layak dan tidak untuk diterapkan sesuai dengan konteks kekinian. Disisilain, melakukan tajdid epistimologi penggalian hukum islam dipandang sebagai kebutuhan mendesak yang tidak bisa ditawar lagi. Dan setidaknya ia sendiri sudah mengupayakan itu dengan menulis buku berjudul Attajdid fi Ushul alFiqh.

Karena fikih adalah hasil ijtihad manusia dalam memahami islam itu sendiri, dalam Bahasa At-Turobi adalah kasbu al-muslimin fi fahmi al-islam dan sistem aplikasinya disetiap realitas kehidupan tertentu. Maka fikih seharusnya tidak mengenal keabadian, dalam arti masih terbuka peluang untuk melakukan ijtihad disana. Yang abadi dan tetap hanya dasar-dasar pokok ajaran islam yang tidak akan lekang oleh tempat dan waktu.

Kembali ke tema, dalam artikel ini, tentu penulis hanya ingin mengambil semangat dan ide At-Turobi dalam memandang status non-muslim di negara islam. Bukan atas dasar menyutujui gagasan tentang pendirian negara islam itu sendiri.

At-Turobi menilai, meskipun asas negara bersumber dari ajaran Islam, tetapi roda pemerintahan harus berjalan secara demokratis, atau Islam lebih mengenalnya dengan konsep syuro dan ijma’ Yang melibatkan semua komponen masyarakat, tanpa memandang suku, agama dan ras dari setiap warga negaranya.

Untuk itu, ia kemudian menawarkan ide kepada umat islam agar meninjau ulang konsep kafir dzimmi bagi warga negara nonMuslim. Negara Islam perlu merumuskan perundang-undangan yang mengatur status kewarganegaraan almuwathanah bagi Muslim dan nonMuslim. Konsep dalam fikih klasik menurut At-Turobi sudah tidak layak diterapkan di era sekarang. Terlebih jika ditinjau dari kaca mata hukum positif dan perjanjian internasional.

Baca juga: Kajian Kitab Muslimat NU Sudan

Adapun Landasan yang dapat dipakai untuk merumuskan undang-undang dasar negara islam ala At-Turobi adalah ajaran pokok Islam yang orisinil dan universal seperti keadilan, toleransi, kebebasan dan perlindungan bagi setiap warga negara tanpa memandang latar belakangnya. Dengan demikian akan tercipta harmoni sosial sebagaimana yang dicontohkan Nabi Muhamad SAW di era Madinah.

Dalam pengamatan penulis, Hasan At-Turobi tidak membedakan antara muslim dan non-muslim dalam negara islam, kecuali perbedaan dalam teologi yang sifatnya privasi, perbedaan menjalankan praktik ibadah dan hukum-hukum agama yang mengatur kehidupan pengikutnya masing-masing.

Sedangkan dalam bernegara, setiap warga negara mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Untuk itu At-Turobi sangat menjujung tinggi semangat kebebasan dan persamaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, karena menurutnya itu merupakan watak orisinil beragama, ia menyebutnya dengan أصل متدين.

Ia juga tidak sepakat dengan konsep hukuman mati bagi orang yang pindah keyakinan agama. Selama orang tersebut tidak mengancam keutuhan dan keamanan negara, seperti dengan mengangkat senjata untuk melawan pengauasa yang sah. Selain itu juga bertentangan secara prinsip dengan konsep kebebasan beragama yang berbunyi la ikraha fi addin.

Padahal kita tahu, bahwa orang yang murtad keluar dari agama islam hukumnya wajib dibunuh, sebagaimana yang tertera dalam fikih-fikih klasik. Kebebasan memeluk agama apapun adalah hak individual yang dilindungi oleh negara dan tidak boleh diintervensi olehnya. Dalam bahasa Turobi la sultana liddaulah alaih. Negara hanya cukup menjamin bahwa masing-masing warganya memperoleh kesempatan yang sama.

Di era sekarang, dimana sebagian besar negara di dunia  secara suka rela mengikatkan diri dalam perjanjian Internasional untuk saling berkerja sama dalam berbagai bidang. Rasanya tidak layak lagi mengangkat tema ‘negara kafir’ dalam konteks kerja sama lintas bangsa, budaya dan agama tersebut. Apalagi sampai bersikap inklusif dari pergaulan internasional. Meskipun At-Turobi sendiri masih meyakini bahwa pendirian negara islam adalah sah-sah saja.

Permusuhan atas dasar agama baik di level nasional maupun internasional akan mengantarkan umat manusia pulang ke masa lalu yang kelam. Peradaban yang diwarnai pertikaian dan  peperangan tiada henti.

Sekarang ini manusia dituntut untuk saling berkompetisi secara sehat demi menjalankan perintah Tuhan untuk memakmurkan kehidupan di muka bumi.

Kiranya pandangan At-Turobi yang moderat dan maju dalam persoalan non-muslim di negara islam dapat diambil sebagai pelajaran untuk proses pendewasaan kehidupan berdemokrasi kita. Terlebih setelah melihat sikap umat islam di Indonesia yang cenderung sinis dan diskriminatif terhadap non-muslim, padahal kita hidup bukan di Negara Islam.

Oleh: Sidik Ismanto

Penulis adalah mahasiswa pasca sarjana yang menjabat sebagai musytasyar PCINU Sudan.

Tinggalkan Balasan