Gempa Bumi, Fenomena Alam atau Hukum Tuhan?

Oleh Muslimat NU Sudan
Sampai hari ini masih ada sebagian orang yang menganggap fenomena alam adalah hukum Tuhan kepada manusia yang membangkang atas perintah dan larangannya. Bahkan ada pula sebagian orang berpikir bahwa murka Tuhan berbanding lurus dengan bencana alam yang terjadi. Pertanyaannya, benarkah sebagian fenomena alam adalah hukum Tuhan, ataukah kausalitas?

Secara metodologis, pemikiran semacam itu tidak bisa disejajarkan begitu saja, sebab masing-masing memiliki pendekatan yang berbeda. Sebagai contoh misalnya, ketika ada bencana gempa di Jawa Barat (Sukabumi, Garut, Tasik dan sekitarnya) atau bencana Tsunami di Aceh, sebagian orang menganggap bahwa itu adalah hukum Tuhan pada manusia yang sudah ‘keterlaluan’ maksiatnya.

Pemikiran cocokologi, begitu saya menyebutnya, semacam ini semakin matang dengan adanya keributan dikalangan publik terkait keputusan MK tentang LGBT dan Sex. Mereka menganggap bahwa keputusan MK tersebut berunsur legalitas LGBT dan Sex di Indonesia, sehingga wajar halnya jika Tuhan menurunkan bencana Alam di Jawa Barat sebagai peringatan.

Dasar pemikiran ini pun tidak ada, berbagai dalil keagamaan dikeluarkan untuk memperkuat anggapannya. Semua dilandaskan berdasakan Al Quran dan Hadist yang seolah-olah itu benar adanya.

Apakah hal ini salah? Tidak! Sekali lagi saya katakana, pemikiran semacam itu tidak salah, namun sifatnya ‘jadul’ alias ‘keterbelakangan’.

Dasar judge saya atas pemikiran tersebut didasarkan pada pemikiran Auguste Comte, filsuf positivism sekaligus bapak Sosiologi tentang 3 jenjang pemikiran manusia. Comte menjelaskan bahwa perjalanan pemikiran manusia akan mengalami 3 fase hebat.

Pertama, jenjang teologis. Jenjang teologis secara sederhana ialah menyandarkan segala sesuatu pada Tuhan. Alih-alih fenomena alam secaman gempa bumi atau tsunami, nasib buruk seseorang pun juga tak luput dari peranan Tuhan. Gaya mereka dalam melihat sesuatu adalah, ‘Ini adalah kehendak Tuhan’ atau ‘Ini adalah ketetapan Tuhan dan kita tak bias berbuat apa-apa.’

Pada jenjang ini Comte menyebut sebagai jenjang paling primitive dan terbelakang. Artinya, manusia yang belum maju pemikirannya salah satu cirinya dalah ‘sensi teologis’ yang terlalu kuat. Apa-apa selalu disangkut-pautkan dengan Tuhan, seolah manusia tak ada daya dan upaya.

Kedua, jenjang metafisik. Jenjang metafisik secara garis besar tidak jauh berbeda dengan jenjang teologis. Yang membedakan jenjang metafisik dengan teologis adalah entitas ‘penyandaran’. Jika teologis entitas penyandarannya dalah Tuhan, maka metafisik lebih kepada hal-hal ghaib atau yang biasa disebut takhayul dalam Islam.

Contoh sederhananya ialah, memakaian jimat ditubuh agar kebal benda tajam. Slametan terlebih dulu sebelum menanam padi agar hasil panennya melimpah atau contoh-contoh yang lain.

Meski beberapa sosiolog barat merincikan jenjang ini lagi menjadi beberapa bagian, namun menurut hemat saya kesemuanya bersatu pada satu titik, yakni penyandaran pada entitas yang melawan kausalitas atau positivism.

Comte memposisikan pemikiran ini pada jenjang kedua. Menurut Comte pada jenjang metafisik masih ada hal-hal yang bisa dicerna secara akal, meski kadang sama sekali tak masuk akal dan menyalahi ilmu pengetahuan. Setidaknya jenjang ini lebih tinggi ketimbang jenjang teologis. Letak keunggulannya ialah adanya peranan manusia atau daya manusia dalam mencari titik temu dari fenomena alam dan entitas yang disadarinya.

Ketiga, jenjang positivism. Jenjang positivism adalah jenjang tertinggi bagi Comte, sebab manusia tidak lagi mempertaruhkan segala yang ‘ada’ pada Tuhan maupun hal-hal metafisik. Semua fenomena disandarkan pada ilmu pengetahuan.

Ketika manusia semakin maju, ilmu pengetahuan memposisikan dirinya sebagai dinding sandaran bagi manusia, baik dalam melihat fenomena alam, maupun masa depan. Itulah mengapa bagi kalangan positivis ilmu pengetahuan sangat dipuja-puja karena mampu menjawab segala yang ada dan yang terjadi.

Istilah masyhur yang biasa mereka lontarkan ialah ‘tidak ada yang tidak bisa dijelaskan dengan ilmu pengetahuan.’ Ada pun hari ini yang belum bisa dijelaskan, suatu saat pasti bisa dijelaskan, baik melalui proses penelitian atau yang lain.

Contoh paling gampang untuk memahami jenjang ini, ketika dulu orang menganggap mustahil manusia bisa bicara antar benua, maka dengan adanya ilmu pengetahuan semua kemustahilan itu bisa terjawab.

Bagi Comte, orang yang berkata ‘mustahil’ tak lain ialah mereka yang dangkal ilmu pengetahuannya dan ‘lumpuh’ untuk meneliti lebih lanjut.

Begitu sebaliknya, orang yang menyandarkan segala sesuatu pada ilmu pengetahuan, hukum positif atau sebab akibat, adalah mereka yang giat dan cerdas, pemikirannya maju dan rasional.

Karenanya dalam melihat fenomena alam semisal gempa bumi kemarin, kita semua pasti bisa membedakan mana yang pemikirannya ‘jadul’ dan mana yang pemikirannya ‘maju’. Tidak ada nilai benar atau salah pada konteks ini, sebab keduanya memiliki pendekatan yang berbeda.

Tinggalkan Balasan